☁️|43• mencoba melawan maut

786 46 1
                                    


Brankar yang dikenakan Vania didorong menelusuri koridor. Banyak orang yang memperhatikan Vania dengan rasa kasihan.

"Mbanya tolong tunggu di luar," cegah seorang suster saat Diandra akan ikut masuk ke ruang ICU.

Dokter yang bernama Dr. Fahri itu berlari masuk ke ruang ICU. Namun, saat akan membuka pegangan pintu, Dr. Fahri membalikkan badan karena mendengar ucapan seseorang yang memohon kepadanya.

"Tolong selamatkan sahabat saya, Dok."

Dr. Fahri tersenyum walau rasa panik melandanya. "Saya usahakan."

Setelah mengucapkan itu, Dokter Fahri langsung masuk untuk menangani Vania. Sementara itu, Diandra menyender di dinding dekat pintu masuk ICU. Wajahnya panik, ia menggigit kukunya. Rasa panik terus merasukinya sampai-sampai ia ingat sesuatu: Diandra belum memberi tahu keluarga Vania.

Dengan tangan yang gemetar, Diandra merogoh ponselnya dari dalam saku rok sekolah. Ia langsung mencari nama Al di kontaknya karena Diandra tidak memiliki nomor kedua orang tua Vania, jadi hanya Al yang bisa diandalkan.

Tidak lama, Al mengangkat panggilan Diandra.

"Halo, Kak. Kak, cepat ke RS sekarang juga. Vania kecelakaan."

Diandra mengecek ponselnya karena tidak ada suara dari Al sedikit pun, tetapi masih tersambung. Pikirnya, mungkin Al sedang syok karena adik semata wayangnya itu kecelakaan.

"RS mana lo sekarang?"

"RS Pertiwi."

Tut.

Al langsung mematikan sambungannya secara sepihak.

Diandra langsung terduduk lemah di kursi yang ada di dekatnya. Ia menutup matanya dengan kedua tangannya. Rasa khawatir terus menyerangnya, ia takut akan terjadi sesuatu pada sahabatnya itu.

Tidak lama kemudian, segerombol muda-mudi berlarian menuju Diandra. "Di mana Vania, Di?" tanya Al yang masih ngos-ngosan karena ia berlari dari ujung ke ujung koridor rumah sakit.

Diandra yang mendengar itu langsung membuka matanya dan bangkit. "Di dalam, Kak, lagi ditangani dokter."

Arsel yang mendengar tuturan dari Diandra langsung terjelonjok ke belakang karena syok. "Seharusnya gue jemput kamu, Van," gumam Arsel.

Reyhan yang berada di sisi sebelah kanan Arsel sementara Aldo berada di sisi kiri Arsel, mereka mengusap bahu Arsel. "Jangan salahin diri lo sendiri, Bro, ini sudah rencana Tuhan," ucap Reyhan.

"Iya, Vania itu gadis tangguh, pasti Vania bisa lewatin ini semua," lanjut Aldo.

Aldo dan Reyhan menguatkan Arsel, Rubby menguatkan Al, sementara Tiara sedang menangis sesenggukan sesekali mereka saling menguatkan satu sama lain. Saat mereka saling menguatkan, tiba-tiba seorang wanita paruh baya dan pria paruh baya menghampiri mereka dengan rasa cemas.

"Gimana keadaan Vania, Al?" tanya Debby pada anak sulungnya itu.

Belum sempat menjawab, tiba-tiba seorang pria memakai jas berwarna putih dan alat stetoskop yang tergantung di lehernya keluar dari ruang ICU di mana Vania dirawat.

"Keluarga pasien!" panggil Dr. Fahri pada mereka.

Debby yang mendengar itu langsung membalikkan badannya menghadap dokter. "Saya orang tuanya, Dok, gimana keadaan anak saya?"

Dokter Fahri menghela napasnya berat membuat mereka menjadi was-was. "Keadaan pasien sangat buruk. Benturan di kepalanya sangat parah, itu bisa saja membuat pasien kehilangan ingatan, gegar otak, atau bahkan tidak bisa diselamatkan."

PENYAMARAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang