#01 boyfriend 18/03/22
•••~•••~•••~•••~•••~•••~•••
Vania Scarlet Praspati, cewek ambis dalam mengejar apa yang di inginkan 'nya. Mempunyai sahabat sejati, itu adalah tujuanya. Demi mendapatkan sahabat yang sejati ia rela menjadi gadis cupu. Masa lal...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Vania duduk di depan cermin dengan senyum yang terlukis di bibirnya, membentuk kurva yang menawan. Tangannya sibuk mengepang rambutnya yang panjang dan berkilau. Saat akhirnya selesai, dia beranjak dari tempat duduknya, menatap pantulan dirinya di cermin sambil terus tersenyum.
"Hari ini hari pertama gue sekolah offline," gumamnya, tawa kecil keluar ketika dia melirik seragam sekolah yang dikenakannya. "Udah lama banget gak ngerasain pake seragam sekolah kayak gini."
Vania meraba kepangan rambutnya, bibirnya mengerucut tanda tidak puas. "Sebenernya gue gak mau tampilan kayak gini," ucapnya pelan. "Tapi gue gak mau trauma pertemanan terjadi lagi dimasa SMA."
Tiba-tiba, suara lantang terdengar dari lantai bawah. "De!! Cepet turun!!" teriak sang abang, Al Reza Praspati.
"VANIA!! LO MAU SARAPAN APA ENGGA?!"
Vania terkesiap, hampir merespon, tapi langsung terdiam saat suara Al menggema lagi. "KALO LO MAU SEKOLAH CEPET TURUN BIAR GAK TELAT SEKOLAH!"
Berdecak kesal, Vania cepat-cepat mengambil tas ranselnya dan mengenakan kacamata bulat besar yang baru dibelinya kemarin. Dengan langkah buru-buru, dia keluar dari kamarnya dan bergegas menuruni tangga.
"Vania!! Cepetan turun, lo gak mau sarapan gue abisin juga nih roti!" Teriak Al dari ruang makan sambil mengunyah makanan.
Saat Vania duduk di kursi makan, Al langsung menoleh dan syok dengan apa yang ia lihat. Makanan di mulutnya hampir jatuh. "What the fuck?!" teriaknya kaget. "Lo gila, de?"
"Lebay lo," balas Vania santai, meskipun dia tahu Al hanya sedang dramatis.
Al menatapnya serius. "Lo yakin ke sekolah tampilannya kayak gitu? Cantik dikit kek, biar orang-orang tau kalo lo adek gue, anak pemilik sekolah GIS."
Vania menghela napas panjang, lalu menatap Al dengan lekat. "Gue mau offline karna trauma gue udah sembuh, lo juga tau kan kenapa gue homeschooling? Gue gak mau kejadian pas SMP ke ulang, cukup di SMP, di SMA jangan."
"Tapi kalo lo kayak gini, bakal semakin parah menurut gue. Lo yakin ngambil keputusan ini? Mending lo sekarang ubah lagi penampilan lo, mumpung gak terlalu siang juga."
Vania menggeleng. "Gak mau, gue udah tau resikonya kok, gue juga tau konsekuensinya ngambil keputusan ini."
Al sedikit frustrasi menghadapi sikap keras kepala adiknya. "Lo bakal punya temen tanpa lo harus merubah diri lo kaya gini. Percaya sama gue, Van."
"Engga pokonya! Iya, gue tau bakal banyak orang yang mau temenan sama gue, tapi bukan berarti mereka tulus temenan sama gue kan? Gue tekankan kembali, gue gak mau kejadian SMP terulang lagi dimasa putih abu."
Al menghela napas panjang, berusaha sabar. "Gue tau lo punya trust issuenya dalam pertemanan, tapi bukan berarti semua orang yang mau temenan sama lo ada niat jahat, Van."
"Engga, gue bakal tetep kaya gini sampai gue dapat temen yang mandang gue apa adanya."
Al akhirnya menyerah, mengangkat tangan tanda pasrah. "Ya udah deh, terserah lo. Capek gue ngadepin lo yang keras kepala. Duplikat Ayah emang gak bisa dilawan," ucapnya sambil mengambil tas ranselnya.
Namun, sebelum benar-benar pergi, Al berbalik dan melihat Vania yang sedang melanjutkan sarapannya, seolah ucapannya tadi tidak berarti apa-apa. "Cepetan, gue tunggu di mobil," ujarnya sebelum melangkah pergi. Vania hanya mengacungkan jempol tanpa menoleh, fokus pada makanannya.