☁️|02• Awal penyamaran

2.9K 252 32
                                    

Di dalam mobil yang melaju pelan, suasana berubah menjadi hening

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di dalam mobil yang melaju pelan, suasana berubah menjadi hening. Hanya terdengar suara mesin dan roda yang melindas jalanan aspal. Vania memandang ke luar jendela, melihat bayangan dirinya yang samar pada kaca mobil. Setelah beberapa saat, dia memecah keheningan dengan suara pelan namun tegas. "Gue gak mau Ayah sama Bunda tau gue kayak gini," ucapnya sambil menoleh ke arah Al yang duduk di sebelahnya.

Al menoleh sekilas sebelum kembali fokus pada jalan di depannya. "Trus?" tanyanya bingung, tak sepenuhnya memahami maksud adiknya.

"Lo jangan kasih tau Ayah Bunda," Vania menekankan kata-katanya, berharap abangnya mengerti keseriusan permintaannya.

Al terdiam sejenak, merenungkan permintaan tersebut. "Tapi lambat laun juga Ayah Bunda pasti tau, de," jawabnya dengan nada yang penuh kekhawatiran.

Vania tersenyum kecil, meski hatinya penuh ketegangan. "Tenang aja, bang. Gue kayak gini gak bakal lama, sampai gue dapet temen yang bener-bener tulus aja."

Mendengar itu, Al hanya bisa menarik napas panjang. Ia tahu keras kepala adiknya sulit dilawan. Dia memilih diam, membiarkan pikirannya tenggelam dalam kerisauan sementara mobil terus melaju. Beberapa menit kemudian, suara Vania yang lembut tapi tegas kembali memecah kesunyian di dalam mobil. "Gue mau turun disini aja, bang," katanya sambil melepas sabuk pengamannya.

Al menghentikan mobilnya di depan halte bus, lalu menoleh pada Vania dengan alis yang berkerut. "Ini masih lumayan jauh, Van. Kenapa gak berhenti di halte deket sekolah aja?"

Vania menggeleng dengan tegas. "Engga bang. Gue gak mau orang-orang tau kita berangkat bareng, pasti mereka bakal curiga."

Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Vania membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Namun, sebelum dia sempat menutup pintu, suara Al menghentikan gerakannya. "Dengan lo kayak gitu lo sama aja nyerahin diri lo sendiri. Mending lo pikirin lagi sebelum masuk sekolah," ujar Al, nadanya serius dan penuh kekhawatiran.

Vania menutup pintu mobil tanpa sepatah kata pun. Dia tidak ingin memperpanjang diskusi, meski hatinya sedikit terguncang oleh kata-kata abangnya. Al hanya bisa menghela napas sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan, meninggalkan Vania sendiri di halte.

Gadis dengan rambut terkepang itu menggenggam tali tas ranselnya erat-erat, bukan karena gugup atau takut, tetapi karena menahan emosi yang mulai bergejolak di dadanya. Saat dia mulai melangkah menuju sekolah, banyak pasang mata yang menatapnya dengan penuh rasa jijik dan penghinaan. Bisikan-bisikan sinis dari para siswa dan siswi mulai memenuhi telinganya, membuat hatinya semakin terasa berat.

"Apaan, sih? Kok ada gembel di sekolah?"

"Duh, pucet banget, sih. Kayak mayat."

"Dih, cupu!"

"Niat sekolah gak, sih?! Kalo sekolah tuh minimal dandan yang cantik kek!"

"Pasti anak beasiswa tuh!"

Vania memejamkan mata sesaat, berusaha menenangkan dirinya. "Ingat misi, Van," gumamnya pelan, berusaha mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap fokus pada tujuan utamanya. Dia tahu, emosi tidak akan membantunya di situasi ini. Dengan kepala tertunduk, Vania terus berjalan mencari ruang guru.

Setelah beberapa waktu, akhirnya dia menemukan plang bertuliskan "Kantor Guru." Vania menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk. Pintu diketuk dengan sopan sebelum dia menyapa. "Permisi," ucapnya dengan nada ramah.

Semua guru yang berada di ruangan itu serentak menoleh ke arahnya. Seorang guru laki-laki yang sedikit gemuk berdiri dan menghampirinya. Vania tersenyum ramah pada pria itu. "Saya murid baru disini, Pak," katanya langsung ke inti pembicaraan.

Guru tersebut mengerutkan kening, tampak berpikir sejenak. "Saya agak familiar, nih, sama mukanya," ucapnya sambil memandangi Vania dengan seksama. Vania merasa jantungnya berdetak lebih cepat, khawatir bahwa identitasnya mungkin sudah diketahui.

"Vania, anaknya Pak Ezra, 'kan?" tebak kepala sekolah dengan yakin.

Vania menelan ludahnya dengan susah payah. "Ba-bapak kok bisa tau?" tanyanya dengan suara yang terdengar gugup.

"Muka kamu gak asing bagi Bapak," jawab kepala sekolah dengan senyum kecil, seolah mencoba menenangkan Vania. "Kok, kamu bisa dandan kayak gini?" tanyanya lagi, masih tidak percaya dengan penampilan Vania yang sangat berbeda.

"Iya, Pak. Saya Vania," jawab Vania, kemudian menambahkan dengan nada yang lebih serius, "Oh, ya. Saya minta tolong sama Bapak, jangan kasih tahu kalau saya ini anaknya Pak Ezra ya, ceritanya panjang kenapa saya begini." Dia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Langsung to the point aja, ya, Pak. Kelas saya di mana, ya?" Meskipun terkesan sedikit tidak sopan, Vania merasa terlalu lelah untuk memikirkan kesopanan lebih jauh, terutama setelah berkeliling sekolah cukup lama.

Kepala sekolah mengangguk mengerti. "Oke, baik. Bapak tidak akan bertanya lagi. Ikut Bapak, ya. Bapak akan mengantarmu ke kelasmu," jelasnya sambil melangkah keluar dari ruang guru.

Vania hanya mengangguk dan mengikuti dari belakang. Setiap kali dia melewati sekelompok siswa, dia menundukkan kepala, seolah mempertegas citra dirinya sebagai anak cupu.

Tidak butuh waktu lama sebelum mereka tiba di depan kelas baru Vania.

•salam literasi•

Kesan,Pesan, kritik, saran?

PENYAMARAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang