2. Prolog

229 36 16
                                    

Buram.

Cahaya terang sangat jelas menyorot ke arahnya, walau telah ia halau dengan kedua telapak tangan, namun mengapa masih terasa sangat menyilaukan?

Sinar cahaya terang yang datangnya entah darimana, terus saja dengan semena-mena menembus sela-sela jari seakan ingin menghantam kedua mata.

Namun kini, telah terlihat sangat jelas, luasnya hamparan langit yang cerah, banyak sekawanan burung berlalu lalang kesana dan kemari, rindangnya pepohonan hijau di sekitar sini, terdapat pula banyaknya serangga cantik bertebaran, serta ratusan jenis bunga dengan perpaduan dari banyaknya warna menghiasi tempat ini, semua nampak seperti di dalam lukisan.

Seperti ilusi semata.

Tunggu dimana aku?

























Illusory World•



























Ribuan jarak di atas sana, meski nampak jauh tetapi langit terus bersinar terang, sangat cerah, namun mengapa hidupnya tidak secerah langit di atas sana? Meski sesekali mendung, tetapi langit akan kembali terang di saat mendung itu pergi, namun mengapa hidupnya gelap di setiap harinya? Seakan awan mendung di dalam diri terus saja menyelimuti tanpa henti.

Mengapa awan gelap tak kunjung pergi?

Apakah kehidupan memiliki arti?

Dua puluh tahun Ratya hidup nampaknya tidak ada satu hari pun yang berarti di setiap detiknya, jika kau bertanya adakah manusia hidup yang tidak pernah memiliki rasa syukur?

Maka dengan jelas jawabannya adalah dirinya.

Ingin sekali Ratya meninggalkan tempat ini, dunia ini. Namun saat dirinya pergi apakah dunianya akan berubah menjadi lebih baik? Atau hanya siksaan yang akan dirinya dapat atas dosa dari jalan yang telah ia pilih? Entahlah, yang Ratya inginkan hanyalah kedamaian.

Satu hari pun tak apa, Ratya hanya ingin mengingat bagaimana rasanya bahagia.

Meletakan ember cucian setelah selesai dirinya menjemur pakaian, dirinya berdiri di pinggir halaman rumahnya, kedua kakinya berpijak tepat di atas dinding pembatas. Rumahnya terdapat pada bagian paling atas bangunan rumah susun yang terletak tidak jauh dari jalanan pusat kota.

Ya, setiap harinya dia berdiri menatap semesta dengan pandangan nanar karna ia membencinya, tak sesekali dirinya berhadapan dengan hembusan angin yang bertiup sangat kencang menghantamnya, meratapi nasib seakan dirinya-lah manusia yang tercipta tanpa tujuan yang jelas.

Seketika langit yang tadinya cerah perlahan berubah menjadi gelap, angin berlarian menghembus ke setiap arah, suara gemuruh dentuman petir memenuhi rungu, baru kali ini, tepatnya pada hari ini dirinya takut akan semesta yang biasanya di setiap harinya tak sedetik pun ia melewatkan untuk menyumpah serapahi semesta, apakah Tuhan marah terhadapku?

Angin benar-benar bertiup sangat kencang seakan membantainya saat itu juga, membuat dirinya pun tak mampu untuk menatap sekelilingnya dengan jelas, badannya pun tergopoh-gopoh terbawa angin, saat dirinya berusaha untuk kembali menuju pintu rumahnya, tetapi justru kakinya bergerak tidak sesuai keinginannya, ia tergelincir yang membuat dirinya hampir terjatuh ke lantai dasar bangunan tersebut. Ya, hampir, karena kedua tangannya masih sanggup berpegangan pada ujung dinding dan menahan tubuhnya agar tidak jatuh.

Ingin sekali dirinya meminta bantuan tetapi diingatnya lagi sedang tidak ada seorang pun keluarganya di dalam rumah, sekencang-kencangnya ia berteriak namun tidak akan pernah terdengar karna suara badai ini ratusan kali jauh lebih besar, tak sanggup lagi kedua tangannya menopang berat tubuhnya dan dirinya terjatuh mengikuti arah gravitasi pada bumi.

Akan kah aku mati? Atau hanya akan merasa sakit yang teramat sangat?

Dilihat lagi bangunan rumah susun yang tampak usang itu tidak terlalu tinggi, namun akankah dirinya masih tetap hidup setelah ini?

Pandangan langit badai diiringi oleh derasnya hujan menemaninya dengan rasa sakit yang ia rasakan kini. Bukankah ini yang dirinya inginkan, meninggalkan dunia ini?

Tapi mengapa dirinya masih menolak untuk pergi? Semesta, apa kau lelah menjadi pelampiasan amarahnya dan sekarang kau membuatnya seperti ini?

Gelap, pandangan Ratya kini telah hilang, saat Ratya telah benar-benar merasakannya justru Ratya sangat takut akan kematian.

Tuhan, sungguh aku takut, maafkan aku

Namun, apakah semuanya telah terlambat?





























Illusory World•
































Seperti ilusi semata.

Tunggu dimana aku?

"Hei, kau telah sadar?" menyelipkan kelopak bunga berwarna merah muda di antara rungu dan surai gadis itu dengan mengulum senyum, "Menikahlah dengan ku"

Setelah membuka kedua matanya penuh terdapat langkah seseorang menghampirinya, manusia namun tampak tidak nyata, siapa dia? Mengapa bisa-bisanya mengatakan hal konyol seperti itu? Bahkan, dirinya pun sama sekali tidak mengenalnya.

"Bangun lah, kau telah berada di dalam duniaku" mengulurkan tangan membantu gadis itu untuk segera bangkit dan berdiri.

"Siapa kau?" netranya menatap pria yang berada tepat di hadapannya dengan raut wajah penuh tanya, "Ada dimana aku?"





























"Siapa kau?" netranya menatap pria yang berada tepat di hadapannya dengan raut wajah penuh tanya, "Ada dimana aku?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Next Chapter

•••
Hai, Hello, Annyeong!
Selamat datang didunianya, dunia ilusi.

Cerita ini murni hanya imajinasi, yang kalian tahu bahwa imajinasi bisa menciptakan apa saja, tidak nyata, karna ini imajinasi.

Oh iya, terimakasih sudah mampir untuk membaca cerita ini, semoga tidak mengecewakan.

Semoga kalian sehat selalu ya!

So Happy Reading :)

Illusory World | Straykids [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang