6. Tupai menyebalkan

76 25 7
                                    

Langkah diiringi oleh malam, menatap ke udara terdapat sekawanan burung berlalu lalang untuk pergi kembali pulang, indahnya makhluk itu, dapat leluasa mengudara dan juga pergi ke tempat mana yang ia inginkan, selalu berkelompok dan tidak pernah sendiri, betapa beruntungnya hewan itu tercipta sebagai makhluk yang menurutnya sempurna.

Bukan hal yang baru lagi jika dirinya selalu merasa iri dengan sekitar, bahkan jika ia bisa meminta, dirinya tidak akan pernah mau diciptakan sebagai manusia.

Adakah manusia lain yang sepertinya? Akankah Tuhan murka terhadapnya? Kapan semua akan berakhir?

Ribuan pertanyaan yang selalu melayang dan menetap di dalam pikirannya tidak pernah sekalipun lepas dan juga sirna, serta rasa sesak dalam hati bagaikan gumpalan besar yang mengganjal pun tak pernah jua itu lenyap.

Ratya hanya bisa menunggu dan terus menunggu kapan dunianya akan berubah.

Akankah dunia berubah? Bukankah itu akan tetap sama? Bagaimana pun juga dunia tidak akan berubah jika bukan manusia itu sendiri yang mengubahnya, mengapa ia tidak bertindak melainkan hanya menunggu?

Apakah ia akan menunggu Tuhan berbaik hati padanya dan memberikan apa yang di pintanya, sedangkan di satu sisi ia membenci Tuhan beserta alam semestanya.

Tidak ada yang bisa mengerti tentangnya, bahkan dirinya sendiri.

"Hei, mengapa kau pulang sekolah semalam ini? Tidak biasanya" tanya pemuda Han.

Pemuda itu tepat berpijak di tengah lapangan yang biasa digunakan oleh anak-anak bermain pada sore hari, menatap Ratya yang berdiri dan masih rapih ia mengenakan seragam sekolah serta rambutnya yang terurai berayun mengikuti arah angin.

"Aku tidak sepertimu yang setelah pelajaran terakhir usai langsung berlari pergi menuju rumah" jawabnya melangkahkan kaki mendekat ke arah Han, hingga membuat keduanya kini telah berdiri sejajar.

"Hei! Kita bahkan berada di sekolah yang berbeda, jangan sok tahu! Aku tidak seperti itu!"

Kedua manik Han melebar sempo beserta deretan giginya yang nampak jelas, tak lupa dengan pipi gembilnya ikut menyertai, menurutnya sangat lucu raut wajah Han di saat ia meracau seperti ini.

"Aku tahu, Peter Han" dirinya tersenyum lebar.

"Kau mau langsung naik ke atas? Tidakkan? Mari duduk dulu di sana"

Ratya mengangguk serta mengikuti langkah kaki Han, duduk di atas kursi kayu sederhana yang biasa Ibu-ibu rusun tempati sembari menunggu anak-anaknya bermain, ternyata tempat ini sangatlah nyaman.

"Mengapa kau pulang semalam ini?" tanyanya membuka konservasi, sesekali menatap Ratya.

"Ingin saja" katanya singkat tertunduk senyum.

"Bohong, tidak mungkin orang seperti mu yang tidak memiliki tujuan hidup mau belajar hingga malam. Oh aku tahu, apa kau berdiri di depan rumah besar sebrang sana untuk memandangi pria itu?"

Jangan harap seorang Peter Han akan bicara manis atau sekedar basa-basi, ia tipikal manusia yang terlalu jujur.

"Ish, tidak! Aku sudah bilang hanya ingin saja" Ratya menghela napasnya sesaat hingga membuat jeda di dalam kalimatnya, "Aku berbeda denganmu, kau nyaman akan rumah sedangkan aku sebaliknya"

Sungguh dirinya sangat bingung ingin menanggapi seperti apa, Han bukanlah tipe laki-laki yang bisa mengeluarkan kata-kata bijaknya hanya untuk menenangkan perasaan seorang wanita, ia juga bukan tipe yang akan memberikan sandaran atau pelukan sebagai obat dari rasa sakit (mana mungkin juga ia melakukannya, pada gadis ini?) yang dilakukannya hanyalah menatap gadis itu seiring dengan malam, udara, dan seiring terangnya sinar rembulan.

Illusory World | Straykids [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang