"Love is like an hourglass, with the heart filling up as the brain empties."
— Jules Renard
***
Citrania Anggita terlahir dari keluarga yang berada, terbiasa dengan hidup mewah dan bergelimang harta. Ayahnya adalah seorang pemilik perusahaan di bidang otomotif yang cukup terkenal serta ibunya adalah seorang fashion designer yang hasil karyanya sudah sampai ke manca negara. Namun, dengan semua hal yang ia punya tidak serta merta membuatnya bahagia. Ya, memang kehidupan tidak pernah sesempurna itu, selalu ada sisi tidak sempurnanya.
Ayahnya selalu menuntut Citra melakukan sesuatu yang pria itu inginkan, sedangkan sang ibu tidak bisa melakukan apapun meskipun jika dibandingkan dengan kekayaan mungkin mereka sepadan. Nyatanya sang ibu tetap tidak melakukan apapun untuk kebahagiaan Citra—dengan alasan agar hidup mereka baik-baik saja—bahkan sekadar menolak perjodohan yang sang suami inginkan untuk anak mereka pun tidak dilakukan.
"Citra, Mama tahu kamu ada di Jakarta sekarang. Jadi, lebih baik kamu pulang baik-baik dibanding anak-anak suruhan Papa yang membawamu pulang dengan paksa."
Citra menghembuskan napas berat. Di pagi yang cerah ia harus mendapatkan panggilan tidak mengenakan dari sang ibu. Bagaimana bisa ibunya secepat itu mengetahui dirinya? Ah, ya jelas saja karena koneksi dan kecanggihan teknologi masa kini dan hal itu juga tidak memungkinkan sang ayah akan mengetahui keberadaannya dalam waktu dekat.
"Citra nggak mau dijodohin, Ma," ungkap Citra dengan suara berat.
Citra dapat mendengar hembusan napas berat dari sang ibu di seberang sana. Citra tahu, meskipun sang ibu terlihat tidak peduli nyatanya wanita itu tetaplah sosok ibu yang menyayangi anaknya. Mengharapkan banyak kebahagiaan untuk putri satu-satunya tersebut.
"Maaf Mama nggak bisa membantu apa-apa, Citra. Kamu tahu sendiri Papamu itu tidak bisa ditentang. Lebih baik kamu kembali sekarang sebelum Papa yang menemukanmu lebih dahulu. Bicarakan baik-baik dengan dia. Mama yakin, masih ada sisi manusia dalam dirinya."
"Bahkan selama ini Citra selalu ikuti kemauan Papa, kemauan Mama pun begitu. Apa sekali aja Mama nggak bisa bantu Citra? Citra nggak mau, Ma. Bukan ini jalan menuju kebahagiaan Citra."
Mama tidak menjawab pertanyaan Citra, membuat perempuan bersurai blonde itu mengangguk mengerti. "Mama nggak bisa, kan? Citra mengerti kok—"
"Citra—"
"Citra tutup ya, Ma. Nanti Citra pikirin lagi akan kembali kapan."
Setelahnya panggilan ditutup begitu saja oleh Citra. Napas berat lagi-lagi ia hembuskan. Nyatanya memang tidak ada yang mengerti dirinya dan memberikan kebahagiaan untuknya. Bahkan seseorang yang Citra telepon setelahnya pun belum tentu bisa sekalipun dipaksa.
"Shan, lo sibuk nggak?"
***
"Gue mau ikut acara charity lo sama anak-anak musik, Fen."
KAMU SEDANG MEMBACA
From Shandy (Completed)
General Fiction"Semua hanya perihal ditinggalkan dan meninggalkan. Akhirnya tetap sama, yaitu kehilangan. Fase di mana lo akan sadar jika seseorang itu sangat berarti di dalam kehidupan lo selama ini." "Tapi, kalau gue lebih baik meninggalkan daripada ditinggalka...