23. Mungkin Bisa?

1.2K 242 35
                                    

Hi! Maaf kalau ada typo(s) selamat membaca!

Hi! Maaf kalau ada typo(s) selamat membaca!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Crying is cleansing. There’s a reason for tears, happiness or sadness.”

— Dionne Warwick

***

Terhitung sudah seminggu aksi Shandy mendiamkan Fiki, hal itu membuat Fiki pun menjadi canggung untuk sekadar mengajak kakaknya tersebut berbicara. Tempo hari, Fenly bilang untuk memberikan Shandy waktu agar lebih tenang dan bisa mendengarkan penjelasan Fiki. Tapi, kapan sebenarnya waktu tersebut di saat seminggu sudah dilewati dengan kecanggungan di antara mereka?

Shandy terlihat sangat sibuk dengan pekerjaannya membuat Fiki juga tidak enak untuk membuka konversasi. Ah, mengapa rumit sekali sih? Mereka tidak pernah perang dingin seperti ini, karena selama ini jika mereka bertengkar Shandy yang akan datang kepada Fiki dan mengajaknya bermain duluan. Lantas, apa masalah saat ini membuat Shandy enggan untuk lupakan begitu saja?

Fiki meremat dua invitation card di genggamannya dengan erat. Sudah berhari-hari Fiki ingin memberikan undangan tersebut kepada Shandy, namun laki-laki kelahiran Agustus itu selalu nampak sibuk di rumah. Waktunya banyak dihabiskan di depan laptop. Bahkan untuk sekadar makan malam kerap kali Shandy lupakan. Fiki yang menyadari itu mengutus Zweitson atau Fajri untuk mengantarkan makanan ke kamar. Kenapa bukan dirinya saja? Ya, Fiki cukup tahu diri karena Shandy pasti belum memaafkannya.

Ia tatap punggung Shandy yang beberapa kali digerakan mungkin untuk meregangkan otot-otot yang terasa kaku karena berjam-jam duduk di kursi. Fiki bertanya-tanya, apakah pekerjaan Shandy sebegitu banyaknya sampai tidak sempat mengobrol dengan Fiki? Berkali-kali napas dihembuskan dengan berat, dengan tangan yang meremat invitation card, Fiki bangkit dari duduknya mendekati sang kakak. Karena jika bukan sekarang Fiki tidak tahu lagi kapan bisa menyampaikan undangan tersebut kepada Shandy mengingat mulai besok ia sudah disibukan dengan gladi resik di kampus hingga malam. Takut-takut ia tidak memiliki waktu untuk membicarakan hal ini kepada Shandy dan berakhir dengan tidak ada satupun yang menghadiri acara tersebut.

"Bang," panggil Fiki ragu di samping tubuh abangnya yang nampak menegang. Nampaknya Shandy tidak berekspektasi jika Fiki akan mengajaknya bicara lebih dulu alih-alih dirinya yang mencairkan suasana dengan membelikan adik pemilik pipi gembil tersebut es krim di depan gang. "Gue ...."

Namun, Shandy nampaknya sedang berada di kondisi mood yang tidak baik. Sehingga laki-laki itu memotong ucapan Fiki begitu saja. "Kalau nggak ada hal penting mendingan nggak usah ngomong, Fik. Gue sibuk," katanya sambil melirik sekilas Fiki yang sudah memasang raut wajah kecewa.

"Tapi, Bang. Ini penting."

Gerakan Shandy di atas keyboard laptop miliknya berhenti begitu saja, membuat suara ketikan yang sejak tadi menjadi pengisi suara di antara mereka hilang tergantikan dengan sunyi dan beberapa kali suara jangkrik menemani. Shandy menoleh, "Apa?" tanyanya.

From Shandy (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang