22. Beri Waktu

1.1K 234 12
                                    


Hi! Maaf kalau ada typo(s) selamat membaca!

***

"Everyone knows that if you've got a brother, you're going to fight."

— Liam Gallagher

***

Fiki terbangun dengan kepala yang pusing, mata bengkak dan wajahnya benar-benar mengenaskan. Tapi, ia tidak mempedulikan hal tersebut karena  yang ia pedulikan sekarang adalah keberadaan abangnya. Ia harus bertanya kepada Shandy kenapa memarahinya sampai segitunya semalam. Namun, ia tertegun saat mendapati dirinya tertidur di atas sofa dengan selimut bergambar tokoh kartun miliknya menyelimuti tubunya. Karena seingatnya semalam ia masih terduduk dengan bersandar kepada daun pintu. Apakah Shandy yang memindahkan dirinya ke sofa dan memberikan selimut ini?

Baru saja senyum akan terbit di bibirnya karena merasa Shandy sudah tidak marah lagi, namun dengan cepat dipatahkan oleh suara seseorang dari arah meja makan. "Gue yang ambilin selimut dari kamar lo tadi pagi, Fik. Kayaknya lo demam soalnya menggigil. Lo bisa bangun, nggak? Kalau nggak gue bakal kasih buburnya ke situ."

Fiki masih bergeming, berusaha mencerna kata-kata Gilang yang sudah memusatkan atensi kepada dirinya. 

"Fik."

"Hah?"

Gilang cuma geleng-geleng kepala. Lantas mendekat kepada Fiki dengan semangkuk bubur dan segelas air. "Lo ada masalah apa sih sama Shandy sampai dia teriak-teriak gitu? Kalian nggak pernah berantem gitu, kan?" Gilang membantu Fiki duduk bersandar di sofa agar lebih memudahkan dirinya untuk makan.

Fiki menggeleng. "Gue juga nggak ngerti, Lang. Abang tiba-tiba aja teriak di depan gue bilang kalau yang gue lakuin itu salah. Padahal gue sendiri nggak tahu salah gue apa, bilang ke kak Nindy? Bilang apa? Gue nggak paham." Terdengar sirat frustrasi dari kata-katanya.

"Omong-omong, lo rapi banget mau ke mana?"

"Emang biasanya gue nggak rapi ya?" Gilang terkekeh.

Fiki mendengus sebal. "Ya nggak, maksudnya tuh lo lebih rapi daripada biasanya. Mau ke mana?"

Gilang tidak langsung menjawab. Dia menyodorkan semangkuk bubur yang masih hangat kepada Fiki yang diterima dengan baik oleh laki-laki berpipi gembil tersebut. "Gue mau pulang kampung, Fik. Gue mau cuti kuliah dulu."

"Kok tiba-tiba?"

Gilang mengangguk. "Gue mau menyelesaikan masalah gue dan keluarga, Fik," katanya, "karena gue nggak bisa terus-terusan kayak gini."

"Tapi, keadaan lo nggakpapa? Orang tua lo ...."

"Nggakpapa kok. Gue udah sadar sekarang kalau banyak potensi di dalam diri gue yang bisa gue banggakan. Thanks to Abang lo yang selalu bilang gitu ke gue." Gilang tertekeh. "Lagipula, sejahat-jahatnya mereka nggak mungkin membiarkan anaknya terpuruk selama-lamanya, kan?"

Fiki mengangguk. "Gue selalu berdoa yang terbaik buat lo, Lang. Seperti kata Abang gue, lo punya banyak potensi yang bisa lo banggakan kalau mereka meremehkan lo."

"Gue tahu itu," balas Gilang, "kalau gitu lo nggakpapa ditinggal sendiri? Soalnya jadwal penerbangan gue sebentar lagi."

"Nggakpapa, santai aja, Lang. Lagipula gue palingan cuma demam biasa. Bentar lagi juga anak-anak balik, kan?" Diliriknya jam dinding ruang tamu yang sudah menunjukkan pukul sebelas siang. "Gue juga bakal ngampus sih bentar lagi."

"Nggak perlu ngampus kalau masih ngerasa nggak enak badan." Gilang bangkit dari duduknya lantas beralih ke tempat obat-obatan di dekat dapur. Biasanya mereka selalu menaruh beberapa obat basic seperti obat flu, pusing, maag dan lain-lain. Diberikan obat tersebut kepada Fiki. "Kalau udah selesai makan jangan lupa minum obat."

From Shandy (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang