"Remember that people are only guests in your story . The same way you are only a guest in theirs , so make the chapters worth reading."
- Lauren Klarfeld
***
"Wah, ice cream!" pekik Fiki saat melihat sang ibu yang baru saja kembali dari kantor membawa sebuah kantung plastik berisi ice cream. Langkahnya dengan riang menghampiri sang ibu yang sudah tersenyum manis, lantas mengusak rambut Fiki gemas dan menyerahkan kantung tersebut kepada sang anak.
"Loh, cuma satu? Buat Abang mana?" Sang ibu terlihat mengerutkan keningnya sebelum akhirnya tertawa canggung. "Ah, itu—"
"Abang juga mau dong!" Shandy tiba-tiba datang dengan rambutnya yang masih basah selepas mandi sore. Wajah riang yang ia tunjukan seketika hilang di saat melihat Fiki hanya menggenggam satu bungkus ice cream coklat di tangannya.
Melihat raut sendu sang kakak membuat Fiki langsung berkata, "Bang, kita makan ice creamnya berdua yuk," ajak Fiki, lantas mendekati Shandy yang sudah menggelengkan kepalanya. "Nggak usah, buat Fiki aja. Nanti Abang beli aja di warung depan gang."
Fiki masih terus mengajak sang kakak untuk menikmati ice cream itu bersama, namun lagi-lagi Shandy hanya membalasnya dengan gelengan dan memilih untuk masuk ke dalam kamar dengan alasan mengerjakan tugas.
"Maafin Mama ya, Shan. Tadi ice creamnya cuma satu."
Shandy mengangguk mendengar kata-kata sang ibu. Tidak apa, sungguh. Karena bukan hanya sekali ini saja sang ibu beralibi demi menjaga hati Shandy agar tidak porak poranda. Sedari kecil, Shandy memang selalu mengalah baik dalam hal paling sederhana sekalipun.
***
Ada hal yang paling Fiki sukai selain makhluk berbulu lembut yang selalu menjadi kawan mainnya. Yaitu, sebuah piano yang selalu menjadi kebahagiaan sederhana seorang Fiki sejak kecil. Dentingan piano yang selalu menemani Fiki di kala hujan menyambangi dan waktu pagi di saat ia masih terlelap dalam tidur membuatnya menjadi lagu pengantar tidur paling indah seantero jagat raya. Walaupun setelahnya ia selalu menjadi sasaran gelitikan sang ibu karena tidak kunjung bangun padahal kegiatan harus segera dimulai.
Pelakunya adalah sang ayah yang selalu menyempatkan diri untuk memainkan piano di rumah. Apalagi di saat hujan turun merupakan saat-saat paling pas bagi sang ayah menekan tuts-tuts piano hingga menghasilkan suara yang indah. Tidak sering mengingat sang ayah juga memiliki kegiatan lain di luar rumah. Tapi, jika di rumah tidak ada sang ayah, Shandy selalu menjadi seseorang yang menggantikannya di kala hujan membasahi bumi dengan rinainya yang tidak kunjung berhenti bahkan sambaran petir seakan tersamarkan karena suara dari mainan piano Shandy.
Fiki masih berdiri kaku di depan ruang musik yang tertutup. Nampaknya anak-anak seni musik sedang tidak menggunakan ruangan tersebut hingga menyebabkan ruangan dengan berbagai alat musik itu terlihat gelap tanpa adanya penerangan cahaya. Tapi, meskipun dengan cahaya yang minim dan dari luar ruangan, pandangan Fiki tetap jatuh kepada sebuah piano di tengah-tengah ruangan. Entah bagaimana, langkah kakinya sudah membawa dirinya menuju ruang musik yang nyatanya tidak terkunci. Seakan bekerja sama dengan semesta membuat rindu Fiki kembali mendera, hingga akhirnya menekan tuts-tuts piano tersebut adalah cara Fiki untuk melepasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Shandy (Completed)
Fiksi Umum"Semua hanya perihal ditinggalkan dan meninggalkan. Akhirnya tetap sama, yaitu kehilangan. Fase di mana lo akan sadar jika seseorang itu sangat berarti di dalam kehidupan lo selama ini." "Tapi, kalau gue lebih baik meninggalkan daripada ditinggalka...