thirty three

4.1K 410 98
                                    

"Jeno-ya. Udah kubilang tunggu sebentar! Aku harus membenarkan tampilanku!"

Jeno terkekeh. Ia memperhatikan Jaemin yang sekarang sedang sibuk berkaca, merapikan kembali pakaian dan rambutnya. Ia tidak mau munafik. Meskipun memiliki Aeri yang sudah ia pastikan akan menjadi istrinya kelak, ia tidak bisa semata-mata mengabaikan Jaemin yang juga tak kalah enak untuk dipandang dan dinikmati. Dan lima tahun terakhir bersama Jaemin merupakan petualangan yang menyenangkan. Dalam hal ranjang, maksudnya.

Berbeda dengan pemuda dominan itu, Jaemin menggerutu penuh kekesalan. Penampilannya yang tadinya sudah sangat rapi harus berantakan lagi karena Lee fucking Jeno yang tiba-tiba menyerangnya saat ia baru keluar dari kamar mandi.

Untung saja ia bisa menghentikan Jeno sebelum keduanya benar-benar bersetubuh di kamarnya sendiri. Ia sungguh tak mau Jeno menyentuhnya lagi. Tidak setelah ia mulai melakukannya bersama Jaehyun. Ia tidak sebrengsek itu untuk melukai pemuda bermarga Jung yang sudah memperlakukannya dengan sangat baik.

Tapi, mau sebesar apapun rasa bencinya, Jaemin tentu tidak bisa menunjukkan ketidaksukaannya secara gamblang kepada Jeno sedangkan si manis sendiri masih bersikeras agar sandiwaranya terus berjalan. Belum saatnya, ia pikir. Tujuannya saat itu benar-benar hanya satu. Memuaskan egonya dengan menjatuhkan Jeno.

"Kamu udah cantik."

"Aku memang selalu cantik!" Sinis Jaemin.

Ia menatap jijik tanda merah yang cukup samar di lehernya. Tidak terlalu kentara, namun ia tetap saja merasa jijik. Jika Jaehyun melihatnya, pasti pria itu akan murka. Bahkan saat mengatakan ia akan pergi dinner bersama Jeno dan keluarganya, raut wajah Jaehyun berubah masam.

"Bajingan." Umpatnya samar yang ia arahkan untuk Jeno.

Jaemin membalikkan tubuhnya lalu menghampiri Jeno dengan senyuman lima jarinya. "Ayo! Ayah pasti udah menungguku!"

--

"Jangan salahkan aku karena baru bisa berkunjung, ayah. Beberapa hari ini aku sedang meriang. Kau tau, cuaca di Korea sedang tidak bersahabat."

Tuan Lee, ayahnya Jeno, terkekeh pelan dan membawa Jaemin ke dalam pelukannya. "Aigoo. . . Kau bebas datang kapan aja sesukamu, Jaemin-ie."

Jaemin merengut. Ia tidak terlalu menyukai panggilan itu. Ia lebih suka bila tuan Lee memanggilnya nak Jaemin saja seperti yang dilakukan bunda Minah. Itu terdengar lebih hangat di telinganya.

"Ayah! Aku udah bilang, jangan Jaemin-ie! Apa kau sedang berbicara dengan minnie?!" Gerutu Jaemin sambil duduk di meja makan, yang mendatangkan tawa dari tuan Lee. "Kenapa kau makin jelek? Apa bunda menyusahkanmu?!"

Makan malam mereka berjalan dengan lancar. Jaemin sibuk berbincang dengan kedua orang tua Jeno. Interaksi mereka jelas sekali menunjukkan bahwa ketiganya cukup dekat hingga dua orang paruh baya itu tidak lagi merasa tersinggung dengan ucapan Jaemin yang nyelekit.

"Itu memuakkan!" Jaemin menghempaskan tangannya di udara. "Kalian tau? Aku ingin sekali menggorok lehernya karena begitu pelit memberikan informasi!"

Jaemin sedang menceritakan usahanya mendekati Choi Lia. Tentu saja ia tak menceritakan apa yang benar-benar terjadi. Ia hanya mengubahnya menjadi informasi mengenai siapa yang akan dikirim untuk mewakili Korea dalam ajang Miss Universe.

Benar-benar omong kosong. Ia bahkan tidak peduli dengan hal itu.

"Lalu, dia malah menyebut-nyebut buaya darat menjijikkan yang pernah ia temui saat sekolah. Oh, ayolah! Apa masih jamannya hal seperti itu?" Jaemin mendecakkan lidahnya sambil menggelengkan kepala. "Untung aja Jeno-ku laki-laki yang tidak banyak bertingkah!"

Bunda Minah terkikik geli. "Nak Jaemin, jagoannya bunda ini benar-benar buaya saat masih SMP dulu."

Telinga Jaemin terasa tergelitik mendengar ucapan bunda Minah yang tetiba itu. Pancingannya ternyata berhasil. "Benarkah?! Sebuaya apa, bun?!"

Jeno mendengus pelan. "Oh, please. Saat itu aku masih puber."

"Kamu melewatkan keseruannya!" Ucap bunda Minah ke Jaemin dengan berbinar. "Banyak gadis yang silih berganti datang ke rumah untuk mencarinya. Yeobo, kau ingat kan? Mereka semua mengaku sebagai pacarnya Jeno! Ryujin, Karina, Aeri. Ah, mereka anak-anak yang manis! Lalu ada Siyeon yang Jeno sebut sebagai kekasih. Saat itu mereka benar-benar sangat polos!"

"Lalu karena patah hati, Jeno malah mengubah penampilannya agar tidak ada yang mendekatinya. Eh, dia malah diolok-olok. Untung ada nak Jaemin yang terus membelanya." Bunda Minah seru bercerita tentang kehidupan asmara sang anak di masa lalu. Karena ia masih berpikir bahwa Jaemin dan Jeno akan segera menikah, ia merasa bahwa menceritakan hal-hal seperti itu bukanlah sesuatu yang aneh.

Benak Jaemin bersorak gembira. Setelah sekian lama, ia akhirnya mendapatkan nama-nama yang berkemungkinan besar merupakan wanita yang Jeno hendak nikahi. Tinggal melakukan sedikit background check, ia akan mendapatkan nama pastinya.

Jaemin memangku kepalanya dengan kedua tangan, dan menatap kepada Jeno yang duduk di sebelahnya dengan kerlingan menggoda. "Oh, Jeno-ya. Ternyata kau pernah tidak culun, ya?"

Jeno hanya bisa tersenyum tipis lalu mencium bibir ranum Jaemin dengan lembut. "I love you, Jaemin-ah."

Bunda Minah mengerjap pelan saat melihat cincin yang dipakai oleh Jaemin. "Cincinmu cantik, nak Jaemin. Dari mana kamu mendapatkannya?" Ucapnya menyela interaksi dua anak muda itu.

Jaemin melihat cincin di tangannya. Seringaian samar muncul di wajahnya. "Oh, ini?" Ia menunjukkan tangan kirinya di mana cincin pemberian mama Jung bersemayam. "Mama memberikannya kepadaku sebagai hadiah. Sejujurnya ini bukanlah seleraku. Tapi karena mama memberikannya sebagai hadiah pernikahan, maka aku menerimanya."

Biasanya, Jaemin akan menyebut sang mami dengan mami, bukan mama. Namun, tidak ada yang menyadari panggilan yang berbeda yang ia gunakan.

"Benarkah?!" Tanya bunda Minah bersemangat.

"Iya! Pernikahanku dengan Jeno 'kan akan segera dilaksanakan. Iyakan, sayang?"

Merasa terpanggil, Jeno pun menoleh untuk melihat ke arah cincin tersebut. Jeno mengangguk, namun ia juga mengerutkan keningnya. "Kamu gak pake cincin dariku." Jaemin menoleh ke Jeno. Tangannya tetap berada di atas meja agar ayah Lee dapat melihat dengan jelas cincin itu.

"Oh, come on, Jen. Aku memiliki banyak perhiasan yang harus aku pakai silih berganti. Dan semua yang kau berikan udah pernah aku pakai." Ia mengerutkan keningnya. "Ini pemberian dari orang tuaku. Apa salah aku memakainya?" Jaemin tidak berbohong. Cincin itu memang pemberian orang tuanya, maksudnya, calon ibu mertuanya.

Lagi pula Jaemin sudah tidak berminat lagi untuk memakai benda-benda pemberian dari Jeno. Ia bukanlah pria murahan yang akan dengan mudah luluh hanya karena diberikan benda berkilau sebagai permintaan maaf. Setidaknya, bukan lagi.

"But Na, kamu setidaknya pakai cincin dariku karena ini dinner bersama keluargaku. Don't you think, baby?"

"Don't be a kid. Aku memakai ini karena ini pemberian mama dan kebetulan sangat matching dengan outfit-ku malam ini. Nothing's wrong with that. Right, abeonim?"

Ayah Lee mengangguk saja. Pikirannya tiba-tiba kosong saat melihat cincin di jari manis Jaemin. Meskipun sudah berpuluh tahun lamanya, ia masih ingat betul dengan cincin hadiah pernikahan yang ibu mertuanya dulu berikan kepada mantan istrinya.




Annyeong

To be continue~

Aku akan double up.

annyeong || 2jae ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang