eighteen

6.6K 500 46
                                    

Jeno mendengar dari Tuan Park bahwa Jaemin di skors selama seminggu karena pelanggaran yang dilakukannya. Tuan Park tidak memberitahukan masalah apa, namun Jeno rasa itu cukup berat karena ia sampai di skors seperti itu.

Jeno sudah pergi ke kediaman Park selama tiga hari berturut-turut, namun bibi Nam mengatakan bila tuan mudanya sedang pergi entah kemana.

Dan di Rabu sore, Jeno pun kembali pergi ke kediaman Park untuk menghampiri Jaemin guna membicarakan dan menyelesaikan permasalahan yang mereka miliki tempo hari. Untungnya, Jaemin ada di rumah.

"Ngapain kamu ke sini?" Sinis Jaemin saat ia memasuki area ruang tamu.

Jeno memperhatikan penampilan Jaemin dari atas ke bawah dalam diam. Kekasihnya itu benar-benar indah. "Aku merindukanmu."

Jaemin berdecih. Ia hanya diam saja di sana, menatap Jeno sedatar mungkin. Jeno juga hanya diam saja, memperhatikan Jaemin sambil memikirkan bagaimana ia harus merangkai kata-katanya, agar Jaemin mengerti.

"Kamu sakit?"

Jaemin menaikkan alisnya. Ia lalu teringat dengan turtleneck yang ia pakai. "Aku sedikit meriang."

Tidak mungkin ia mengatakan pada Jeno jika tubuhnya dipenuhi oleh bekas gigitan cinta dari iblis. Ia masih ingin mempertahankan imej-nya sebagai kekasih yang kejam namun setia.

"Where have you been, baby?"

Jaemin menghela pelan. "Aku pergi mengunjungi paman Yuta."

Jaemin tidak berbohong. Selama kesibukannya menjadi "spy", ia menyempatkan diri untuk mengunjungi paman jauhnya itu. Bukan sekedar berkunjung, ia membutuhkan sedikit bantuan di sana.

Kening Jeno berkerut. "Kenapa gak bilang ke aku, Na?"

Jaemin menghela. "Did we on talking term, Jen? Aku pikir sudah jelas kukatakan kita membutuhkan waktu untuk diri sendiri. That including not tell each other what we did."

"Alright. Aku ingin membicarakan masalah kita, Na." Akhirnya Jeno menyampaikan maksud kedatangannya.

"Okay. . . go on then." Jaemin duduk di single sofa. Ia menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, lalu menyilangkan kaki dan tangannya.

(Mau kasi note dulu. I've never been in their situation. Jadi, mungkin cara aku nyelesaikan masalah mereka itu bakalan kurang pas atau mungkin ga masuk di akal kalian. Tp aku berusaha untuk bikin cara mereka nyelesaikannya itu, berdasarkan / ngena ke karakter masing-masing gitu. Moga ga aneh.)

"Pertama, aku gak merasa bersalah karena udah bentak kamu. Aku lakuin itu karena kamu ingkar janji, Na. Apa yang mereka lakukan ke aku, masih ada bekasnya di benakku, Na. Aku gak suka bahas masalah itu, dan kamu tau itu."

Jaemin berdecih pelan. Ucapan yang sama yang sudah ia dengar sebelum-sebelumnya. "Grow up, Jen. Kamu udah dewasa. Yang kaya gitu harusnya gak usah kamu pikirin." Ucap Jaemin apa adanya, tanpa menaruh rasa empati sedikitpun.

Jeno mendesah pelan. Memang sulit sekali untuk membuat Jaemin mengerti perasaannya. "Itu gak mudah. Try to put yourself in my shoes."

"Nope. I refuse."

Jeno mendesah pelan. Memang benar-benar sulit untuk berbicara hati ke hati dengan Jaemin. Ia tahu usahanya akan sia-sia. Tapi setidaknya, ia mencoba. "Kedua, kamu udah janji untuk gak merendahkan orang lain lagi. Tapi, masih aja kamu lakukan. Gak hanya yang terakhir di apartemen aku, tapi sebelum-sebelumnya juga."

Jaemin mengedikkan bahunya. "Kamu memintaku untuk menjanjikan sesuatu yang impossible. Gimana mau aku tepati?"

"Kamu serius gak sih sama hubungan kita, Na?"

"Apa aku harus serius, Jen?" Ucap Jaemin balik bertanya. "Tidakkah kamu pikir, aku pantas untuk dapatin orang yang lebih baik darimu?"

Jeno berdecih. "Kamu pikir ada yang mau? Aku bisa bertahan dalam hubungan ini selama lima tahun, itu udah luar biasa. Egoisnya kamu, kelicikanmu juga, I bear with that."

Benak Jaemin terbahak mendengarnya. Jeno benar-benar menganggap remeh dirinya. Nanti, saat semuanya akan terbongkar, ia pastikan Jeno akan mendapatkan pukulan telak bertubi dalam satu waktu.

"Terus apa masalahnya? Kamu bisa tahan semuanya dengan baik. Kenapa mengeluh sekarang?"

Jeno memijat pelipisnya. "Na . . . Aku udah berusaha untuk ngerti dan get along sama sifat dan sikapmu. Tolong berubah. Demi hubungan kita."

Jaemin berdecih. Demi apapun ia tidak mau berubah. Ia sudah nyaman dengan dirinya yang sekarang. Kalau Jeno tidak bisa menerimanya, then fuck him.

"Jen. Kenapa bahasan kita ini-ini aja? Emang hubungan ini pantas diperjuangin? Kita pacaran udah berapa lama sih? Lima tahun? Mau berapa lama lagi status kita gini-gini aja, Jen? Kapan kamu lamar aku?"

Jeno menatap Jaemin dengan desperate. "Aku baru aja memulai bisnisku sendiri, Na. Give me time. I'll propose if the time come."

Tentu saja Jaemin akan memberinya waktu. Rencananya juga butuh waktu untuk mencapai kesempurnaan. Kata papinya, sabar adalah kunci dari keberhasilan. Jadi, ia harus sabar dan menikmati saja prosesnya.

Jaemin mengangguk-angguk. "Jadi, kamu mau aku perjuangin hubungan ini?"

"Tunggu sebentar lagi. Aku akan ngelamar kamu."

Jaemin hanya mengangguk. "Apa masih ada lagi?"

Sesungguhnya, Jaemin sedang malas bertemu dengan siapapun, terlebih lagi Jeno. Seharian ini ia habiskan untuk beristirahat, selagi masa skorsnya baru habis besok. Sedari tadi ia sudah menahan ketidaknyamanan yang ia rasakan di bagian bawahnya. Dan ia sudah menahan wajahnya agar tidak menunjukkan kesakitan.

Jeno mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil dari kantung celananya. Ia mengeluarkan isinya yang merupakan cincin dan memasangkannya di jari tengah Jaemin. "Permintaan maafku." setelah berkata begitu, Jeno meraih tangan Jaemin tersebut dan memberikan kecupan kecil di punggung tangannya.

Jaemin memerhatikan cincin itu. Ukirannya indah, dengan beberapa permata di sana dan di sini. Jaemin yang suka dengan benda yang bling-bling pun tersenyum lebar.

"Kau menyebalkan. Tapi aku merindukanmu." Setelah itu, Jaemin berhambur ke pelukan Jeno.





Annyeong

See you guys in ten days.
Aku mau fokus uts dulu ne.

To be continue~

annyeong || 2jae ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang