ten

8.8K 658 42
                                    

Jaemin sedang rebahan di kasur Jeno, menunggu kekasihnya selesai mandi. Mereka berencana untuk dinner bareng. Traktiran Jeno karena ia dan timnya berhasil mendapatkan tanda tangan kontrak kerja sama dengan perusahaan IT lainnya.

Dari tadi telinganya sudah gatal karena deringan ponsel Jeno yang tidak berhenti. Karena kesal, Jaemin pun mengangkat telefonnya dan dengan ketus berkata,

"Jeno sibuk."

Setelah mematikan sambungan telefon, Jaemin tak sengaja melihat notifikasi pesan yang masuk ke ponsel Jeno beberapa menit lalu kemudian membacanya.

Alisnya pun terangkat. "Ah, benarkah?"

Tanpa menunggu persetujuan Jeno, Jaemin pun membuka kunci ponsel Jeno dan dibuat terperangah dengan foto wallpaper Jeno yang baru.

"Hem . . . cantik. Aku gak tau dia menyimpan ini." Jaemin terus memandangi wallpaper itu, ia sudah lupa dengan tujuannya membuka kunci ponsel tersebut.

"Apa yang kamu lakukan?" Jeno keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.

Jaemin menunjukkan layar ponselnya. "Dari mana kamu dapat foto prom ini, Jen?"

Alis Jeno terangkat. "Kenapa memangnya?"

"Karena aku cantik banget! Lihat lah! Meskipun Jinan yang mendapatkan tittle queen malam itu, tapi presence-ku benar-benar gak bisa diabaikan. Ah, seandainya waktu itu kamu datang, aku yakin kamu akan mendapatkan posisi king-nya, karena kamu memang se-tampan itu!"

Jeno terkekeh pelan. "Kamu berlebihan."

Jaemin meletakkan kembali ponsel Jeno ke atas nakas. Ia merubah posisi tidurannya menjadi telungkup.

"Tapi, aku benar-benar heran. Jinan, gadis itu sangat munafik. Apa kamu ingat bagaimana dia dan pengikutnya dulu mengusik kamu? Kacamatamu bahkan dihancurkannya. Hah. Lucas juga. Anak itu benar-benar gak ngerti batasan. Aku masih ingat betul saat Injun dipermalukan di depan murid yang lain--

"Sudahlah,na . . ."

"-- karena Jinan dengan pedenya mengajak Lucas berkencan. Mereka berdua memang sangat cocok. Jinan si perebut kekasih orang, dan Lucas si buaya darat. Aku harap mereka berdua saling merusak satu sama lain. Kau tau, Jen? Injun bahkan masih menyimpan rasa untuk si brengsek itu--

"Sudah, na . . ."

"--untungnya kamu tidak berdandan seperti Lucas. Aku cukup bersyukur saat itu kamu gak terlalu mencolok dan gak dicap sebagai cowok most wanted. Culunnya kamu bikin aku gemes, tau gak? Tapi, aku suka kesel kalau lihat kamu digangguin sama mereka. Untung aja kita cross path di waktu yang tepat. Hah. Seperti kataku tadi, Jinan benar-benar munafik. Aku gak ngerti kenapa dia juga mencoba untuk merusak image-ku. Mungkin dia iri. Ya, satu-satunya alasan logis adalah karena dia iri dan dengki padaku. Aku memiliki semuanya. Sedangkan dia. . . tau gak kamu? Orangtuanya itu koruptor. Gak heran sih aku. Jadi nurun ke anaknya juga, tapi dalam bidang lain. Orangtuanya perebut hak masyarakat, sedangkan Jinan perebut kekasih orang."

"Park Jaemin, cukup!"

Jaemin mendengus geli. Ia bangkit dan menghampiri Jeno, dan membenarkan letak rambut sang kekasih yang berantakan. "Kamu sangat merah, Jen. Apa kamu marah? Yang aku katakan barusan adalah fakta. Kamu juga mengetahuinya."

"Kita udah pernah membicarakan hal ini, na. Gak ada mengungkit masa lalu. Gak ada merendahkan orang lain. Gak ada menjelekkan orang lain! Apa kamu tau rasanya direndahkan seperti itu?!"

"Aku gak merendahkan siapapun." ucap Jaemin dengan tenang.

Jeno mendengus. Matanya menatap nyalang pada Jaemin. "Oh, sungguh? Setiap perkataan yang keluar dari mulutmu, semuanya, adalah olokan untuk orang lain. Apa kamu gak ngerti, na? Sifatmu itu bisa merusak dirimu sendiri!"

Jaemin mengedikkan bahunya. Ia meraih tas kecilnya dan menatap Jeno. "Aku suka merendahkan orang lain. Aku melakukannya di depan mereka. Aku gak munafik. Aku terima segala kebencian yang mereka arahkan padaku. Jen, apa kamu ingin dengar aku memuji diri sendiri? Aku bisa melakukannya sampe besok."

Jeno membuka mulutnya, namun Jaemin membungkamnya dengan melumat bibirnya dalam-dalam namun singkat. Ia menyentuh bibir penuh Jeno, mengelap air liur yang berserakan di sana.

"Apa kamu pernah melihatku melakukan hal baik, Jeno? Tidak. Tentu saja tidak. Aku, Park Jaemin, bukanlah seorang malaikat. Tapi aku bukan seseorang yang akan mengeluarkan kata-kata menusuk berdasarkan kebohongan. Itu nilai plus, anyway. Asal kamu tau, mungkin aku orang terjujur yang pernah kamu temui."

"Kamu perlu memikirkan ulang apapun yang terjadi di antara kita. Aku gak pernah memaksa kamu buat terima aku, Jen. Itu keputusanmu sendiri, saat kamu juga tau aku seperti apa."

"Na. . ."

"Batalkan saja dinner-nya. Aku selalu membuat janji cadangan kalau-kalau dinner kita batal, dan aku ada janji temu dengan seorang karyawan papi. Hubungi aku kalau kepalamu itu udah dingin."

"Park Jaemin!"

Jaemin berlalu begitu saja, mengabaikan panggilan-panggilan Jeno, dan masuk ke dalam lift. Ah, ia berada di gedung apartemen tempat Jeno tinggal. Bukan rumah orang tuanya. Jaemin mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi nomor terakhir yang menghubunginya satu jam yang lalu. "Jangan lama. Aku akan menunggu di lobi."

"No need, kitten. Aku sudah sampai."

"Aku gak lihat ada mobil di depan lobi." Ucap Jaemin dengan jutek saat pintu lift terbuka. Ia merasa kesal karena perkataan Jeno. Sangat menyakitkan.

"Siapa yang bilang aku membawa mobil?"

Jaemin mengedarkan pandangannya. Ia pun menghampiri Jaehyun yang berdiri seperti seorang lunatic di bawah lampu yang sedikit redup. Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas. "Park Jaemin." ucapnya menjawab pertanyaan Jaehyun.

Jaehyun tersenyum, menampakkan kedua lesung pipinya yang terlihat sangat amat manis. Jaemin tertegun. Setiap kali melihat senyuman itu, jantungnya berdebar tak karuan.

"Dasar jantung sialan. Kenapa kau tersenyum seperti itu?! Creep!"

Jaehyun terbahak. Ia merangkul Jaemin dan membawanya menyusuri taman yang berada di sekitar gedung apartemen tersebut.

"Gimana harimu?"

"Wonderful." Sarkas Jaemin.

Jaehyun terkekeh pelan. "Aku memesan meja di DanBam. Suasana di sana juga bagus untuk menaikkan mood kamu."

Jaemin hanya bergumam. Karena keduanya berjalan berdempetan dengan lengan Jaehyun yang melingkar di bahu Jaemin, si manis pun dengan leluasa menyandarkan kepalanya di bahu bidang Jaehyun.

"Aku ingin membunuh seseorang."

"Kamu mabuk? Kamu ngelantur."

"Tidak. Aku sangat sadar." Ia mendongak dan menatap Jaehyun dengan mata bulatnya. "Aku ingin membunuh pacarku. Kau tahu aku punya pacar, kan? Jangan bilang tidak! Aku jelas-jelas mengatakannya waktu itu di kantor papi. Aku tidak mungkin salah ingat. Ya, benar, aku--"

Jaehyun meraih dagu Jaemin lalu mencumbunya dalam. Ia juga melumatnya. Dan menggigit pelan bibir bawah Jaemin saat akan menghentikan ciuman tersebut.

"Kamu berisik, kitten."

Mata Jaemin mengerjap pelan. Itu terlalu tiba-tiba. Ia tidak siap, yang mengakibatkan tubuhnya sedikit oleng karena ciuman Jaehyun memang se-memabukkan seperti itu.

"Aku tau statusmu, kitten. Don't worry. In the end, yang akan menemanimu sampai tua adalah aku."

Jaehyun kembali menundukkan kepalanya dan mencium bibir Jaemin dalam-dalam. Itu bukanlah ciuman yang menggebu-gebu. Hanya ciuman yang ia berikan untuk menyalurkan perasaannya pada si manis.

Dan si manis pun membalas, karena bibir Jaehyun membuatnya hilang akal.

Hanya bibirnya saja. Belum yang lain.





Annyeong

annyeong || 2jae ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang