Bab 9: Terungkap

816 107 22
                                    

Gadis itu... Tatapannya yang memelas memandang Draco. Yang dipandang hanya mampu membeku di tempat seperti patung tak berguna. Gelak tawa misterius menggema mengelilingi mereka. Draco dan gadis itu sedang berada dalam ruang hampa yang gelap. Hanya ada dua cahaya yang menyinari sosok masing-masing.

Wajah cantiknya pucat. Bibirnya membiru dan bergetar menahan jeritan. Rambut singanya lebih tak beraturan. Beberapa lebam terlihat di titik-titik tertentu tubuhnya. Tetesan darah mengalir dari luka sayatan di salah satu lengannya. Draco memejamkan mata, berusaha mengusir pergi gadis itu dari hadapannya.

Namun, gadis itu tetap berdiri di tempatnya. Matanya yang biasa penuh kehangatan kini berubah menjadi sedingin mayat hidup. Draco mulai takut dan akan selalu takut dengan bayang-bayang gadis itu.

"Kenapa kau membiarkanku menderita seperti ini?" ujar Hermione dengan suara serak dan sedingin kematian.

Draco tersentak. Tubuhnya bergetar tatkala mendengar suara dingin Hermione. Suara itu seperti menusuknya hingga ke sumsum tulang, menusuknya dengan kejam seperti belati tajam yang pernah menggores lengan gadis itu sehingga menimbulkan luka sayatan yang cukup dalam dan menyakitkan.

"Draco... tataplah aku!" kata Hermione lagi. Kini gadis itu mulai menangis. "Mengapa kau selalu tak sudi menatap tepat ke kedua mataku? Apakah bagimu aku masih Darah-Lumpur yang menjijikkan?"

Dengan takut Draco berusaha menatap ke dua mata itu. Tiba-tiba sosok Hermione sudah berada dekat di hadapannya. Jarak mereka hanya terbatas satu langkah. Kini Draco dapat melihat lebih jelas gadis di hadapannya yang tampak memprihatinkan.

Tangan Draco otomatis terangkat. Dia ingin mengusap air mata yang mengalir sendu di pipi gadis itu. Namun, ada sebuah sekat tak terlihat yang menghalangi mereka. Draco tak dapat menyentuh Hermione meski jarak mereka cukup dekat. Hatinya terasa perih melihat gadis di hadapannya seperti itu. Draco ingin memeluknya, mendekapnya dalam tubuh hangatnya agar tak ada kesan dingin lagi dalam diri Hermione.

"Kau tak akan bisa menyentuhku," kata Hermione. "Semuanya sudah terlambat, kau tahu?"

Peluh semakin membasahi tubuh Draco. Tangannya yang terkatung ke depan bergetar hebat. Dia ingin membuka mulut, berusaha mengatakan apa saja sebagai respons. Justru mulutnya menjadi kaku. Dia tak mampu bahkan hanya untuk sekadar membuka mulut sedikit.

Di tengah kegelisahan Draco, tiba-tiba semuanya berubah dengan cepat. Gadis di hadapannya menghilang, begitu juga dengan tempat di mana dia berdiri. Dia seolah ber-Apparate, tersedot dalam ruang dan waktu yang membawanya ke dunia riil. Kakinya seolah menjejak tanah dengan keras.

Draco terbangun dari tidur panjangnya dengan tubuh terhentak seperti baru terkena sengatan listrik. Dia langsung mengubah posisinya menjadi duduk. Lagi-lagi mimpi yang sama, mengenai Hermione dengan segala rasa bersalah yang ditimbulkan. Draco mengusap wajahnya yang penuh dengan keringat dingin.

Sampai kapan penderitaan ini akan sirna? Sampai kapan rasa bersalah dalam dirinya memudar?

Ruangan tempat dia berada saat ini sangat gelap. Obor di dekat pintu berat sudah padam. Bahkan tak ada yang sudi menyalakannya untuk kebaikan penglihatan Draco. Kepalanya masih pusing akibat Mantra Bius yang cukup kuat. Bau apak dan pengap langsung menyambangi saluran pernapasan, mencekiknya dengan kuat.

Setelah berhasil membuka mata dengan jelas, Draco langsung panik. Dia berdiri dengan limbung. Tangannya meraba-raba dalam kegelapan dan pada akhirnya menemukan dinding sebagai bahan sandaran. Dinding yang disentuhnya terasa lembap dan berlumut. Sekali lagi Draco memandang berkeliling dan langsung menyadari bahwa dirinya sedang berada di gudang bawah tanah Malfoy Manor.

Harry Potter and The Time TurnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang