...
Pukul setengah 8 pagi, tepatnya setelah menyelesaikan urusan kamar mandinya, Aksara memutuskan untuk duduk dikursi kayu teras rumahnya. Tak lupa dengan segelas coklat hangat dan cookies pemberian Melinda yang terpajang ayu diatas meja untuk menemani lelaki berkulit tan itu.
Tidak ada yang menarik dari rutinitas pagi Aksara, namun pagi ini kepalanya terus memikirkan sesuatu, tepatnya memikirkan tingkahnya kemarin saat melihat sosok Rigel. Saat itu, dirinya langsung pergi begitu saja tanpa menyapa bahkan menatap kedua mata yang dulu menjadi favoritnya itu.
Namun sejujurnya Aksara ingin merengkuh tubuh itu dan mengungkapkan betapa rindunya ia. Namun kenyataan lain menyadarkannya, bahwa Aksara tidak bisa melakukan hal itu, meski ia ingin. Karena ada tembok pembatas diantara dirinya dan Rigel.
"Dek, beli sarapan sono. Jan diem-diem bae" ujar Hendera yang baru saja muncul dari dalam rumah dengan kaos belel plus kolor macannya.
"Lo nyuruh gue buat beli sarapan?" tanya Aksara memicingkan matanya.
"Iyalah, ban mobil gue kan bocor gara-gara lo pake tadi sore. Maka dari itu, lo yang harus beli sarapan."
"Ya terus gue belinya naik apaan?" sungut Aksara.
"Naik burok atau nggak numpang karpet aladin. Ya gue ngga mau tau, yang penting pagi ini gue sarapan" kata Hendera lalu menenggak minuman milik Aksara.
"Tau gini gue ogah ngikut ke Bandung" balasnya.
"Gue liat-liat ada motor nganggur noh digarasi. Cobain aja, siapa tau masih nyala"
Ah benar juga, motor miliknya semasa SMA itu masih bertegger manis didalam garasi. Tetapi Aksara sendiri tidak yakin apakah kuda besi itu masih bisa dinyalakan, pasalnya motor tersebut sudah tidak terpakai sejak tiga tahun terakhir.
Dan setelah beberapa kali mencoba distater, rupanya si vanilla, vespa putihnya itu masih bisa diajak kerja sama. Dengan begitu, Aksara pun bisa dengan tenang membeli sarapan untuk Hendera.
.
.
.
.
."Waduh A', nggak ada uang kecil aja? Saya baru buka, belum ada kembaliannya atuh" ujar sang penjual bubur ayam, terlihat menyerahkan kembali uang seratus ribu pada Aksara.
Aksara pun ikut bingung, masalahnya ia tidak membawa pecahan uang kecil dikantongnya. Ia hanya membawa uang seratus ribu pemberian Hendera.
"Saya juga nggak ada uang kecil, Kang" Aksara meringis tak enak seraya menggaruk belakang kepalanya yang mendadak gatal.
"Pakai uang aku aja, memang berapa Kang?"-
Aksara terdiam begitu melihat seseorang yang tiba-tiba saja muncul dari arah belakang dan kini berdiri tepat disampingnya itu.
"Ah, 20 ribu Neng"
"Nah, pas yaa" katanya, menyerahkan selembar uang berwarna hijau itu pada sang penjual.
Aksara tertegun. "Rigel?"
Rigel membalik badannya dan menatap ragu kearah Aksara yang masih terdiam.
"Y-ya?"
"Kamu disini?" tanyanya.
Rigel mengangguk.
"Makasih, ya. Nanti biar aku ganti uang kamu" ujar Aksara begitu kesadarannya kembali penuh seutuhnya.
"Eum, nggak perlu. Lagian jumlahnya nggak seberapa besar, nggak usah dikembaliin" balas Rigel, tangannya saat ini tengah sibuk memilin ujung kaosnya.
Aksara mengangguk, "oke kalau gitu."
Tanpa sadar, mereka terus berjalan beriringan menuju tempat parkir. Bersamaan dengan Rigel yang mengigit bibir bawahnya karena jantungnya yang berdegup heboh serta Aksara yang terdiam memasang wajah datar.
Keadaan begitu canggung hingga tak terasa mereka telah sampai di parkiran.
"Eum, Raa-" ucap Rigel, baru saja ingin memulai pembicaraan.
/drrttt/
/drrttt/
Namun ponsel milik Aksara tiba-tiba saja bergetar menandakan adanya panggilan masuk, hal itu sontak membuat Rigel kembali merapatkan bibirnya.
"Halo? iyaa. Ini gue udah mau balik, sabar" ujar Aksara, setelahnya ia langsung mematikan sambungan teleponnya dengan Hendera.
Lelaki itu kemudian menatap Rigel. "Kamu pulang naik apa?"
"Eh? aku bawa motor" jawab Rigel.
Aksara mengangguk kecil, "yaudah, kalau gitu aku duluan. Makasih traktirannya"
Aksara lantas pergi menuju letak motornya. Tanpa sadar meninggalkan Rigel dengan tatapan kecewanya.
Wanita itu lalu tersenyum lirih menatap kepergian vespa putih bersama sang pemiliknya.
...
Sang pemilik binar mata indah itu terlihat sedang mengigiti kuku jarinya saat ini, hal tersebut menandakan bahwa ia sedang dalam keadaan ragu. Ia bimbang, haruskah ia mengirim pesan yang sudah sempat ia ketik itu pada Aksara?
Namun wanita itu takut. Takut akan respon Aksara pada nantinya.
Rigel terus menimbang-nimbang, memikirkan segala hal yang akan terjadi. Hingga pada akhirnya, wanita itu memantapkan hatinya untuk mengklik ikon send pada room chat nya.
Rigel
| Hai?
| Aku dapat nomor baru kamu dari Jerico.
| Kamu nggak keberatan kan, kalau aku ngechat?Aksara
Rigel? |
Ada apa? |Rigel
| Bukan hal penting,
| Tapi apa boleh kalau aku ajak kamu ketemu?
| Maaf kalau sekarang ini aku keliatan ga tau diri.Aksara
Kamu pingin kita ketemuan? |
Boleh kok |
Foodcourt gmn? |
Ah, tempat itu. Jangan salahkan Rigel jika nanti dirinya flasback tentang kenangan sepulang sekolah bersama Aksara dulu.Rigel
|Oke, foodcourt.Aksara
Kamu jangan berangkat sendiri |
Nanti biar aku jemput |Rigel
|Eh, nggak perlu.
|Kan aku yang ngajak ketemu.Aksara
Gapapa, |
Aku jemput km , jam 4 sore. |Rigel tersenyum kecil, sungguh ia tidak memiliki maksud apa-apa atas pertemuan nanti. Rigel hanya ingin bertemu lelaki itu dan menanyakan kabarnya. Tenang, ia cukup sadar diri kok untuk tidak melibatkan perasaan yang masih tersimpan.
--tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Rigel - Haechan ft. Ryujin [END]
Teen Fiction[𝐂𝐨𝐦𝐩𝐥𝐞𝐭𝐞𝐝] ... Ini tentang bagaimana seorang Aksara Adhinatha, mencintai semestanya 'Kathrina Rigelia.' "Selagi aku bisa, apapun bakal aku kasih. Aku nggak main-main, Rii... " start; 6/1/21 end; 1/6/21 © a story by, shxxva.