Agenda Terakhir

49 8 5
                                    

Malam ini menjadi puncak terakhir kegiatan, sore tadi proposal anggota telah dikumpulkan. Tak terhitung sudah setahun aku menjalaninya dan meninggalkan tanah air tercinta demi meraih suatu kebanggaan.

Akhirnya hari ini menjadi jawaban penentu, apakah setahun ini aku dapat memberikan yang terbaik bagi bangsaku atau sebaliknya. Dengan susah payah aku menyusun proposal itu sedemikian rupa. Berharap dapat membuahkan hasil yang baik.

Kegiatan pun digelar dengan sangat meriah. Semua dekorasi tampak mahal dan elegan. Sama halnya dengan pertama kali aku kemari, semuanya terlihat sangat berkelas. Dari jamuan makanan lezat hingga panggung konser yang megah nan mewah. Tak ada yang terlihat buruk pada malam hari ini.

Para tamu pun mulai berdatangan dan memenuhi ruangan megah ini. Siluet kain itu membentuk lekuk tubuh mereka dengan sangat anggun. Tak kalah dengan para tamu pria yang nampak sangat gagah dengan setelan jas mahalnya.

Disisi lain terdapat anggota UNICEF, UNESCO, dan PBB dari berbagai kalangan. Namun saat ini dominan tawa riang milik anak-anak. Terlihat mereka bermain bersama, berlarian kesana kemari, dan beberapa anak lainnya sedang asyik berbincang-bincang. Suasana kali ini serasa hidup. Berbeda dengan sebelumnya yang dominan akan suasana tegang nan formal.

Aku melewati beberapa orang sembari menyapa delegasi lainnya. Mencari-cari dimana keberadaan kursi yang masih kosong untuk aku tempati. Tak kusangka kali ini aku berpapasan lagi dengan Aletta. Sekilas kami sama-sama berhenti dan bertatapan. Aku tak mungkin menyapanya duluan, karena yah kalian tau sendiri orang seperti apa Aletta itu.

Entah tak ada angin dan hujan, kali ini ia sedikit merendahkan hati untuk sekedar menyapaku. Tak terlihat sifat gengsi maupun gila hormat yang acap kali mendominasi karakternya.

"Haii," sapanya sekilas.

"Hai juga," balasku singkat.

Kami pun memutuskan untuk duduk di tempat yang sama. Namun atmosfer disekitar serasa berbeda. Hawa canggung mulai menyelimuti kami berdua. Tak ada sepatah kata apapun untuk memecah kesunyian.

Aletta yang daritadi menatapku terus-terusan sedangkan aku hanya mengalihkan pandanganku, berusaha tidak berurusan dengan wanita itu lagi. Ketika Aletta ingin membuka percakapan, dari sudut lain terlihat Seolhaan menghampiri meja kami.

Ia lantas duduk dengan santai diantara hawa canggung antara aku dan Aletta. Di tangannya sudah membawa 2 gelas minuman. Seolhaan langsung menyodorkannya padaku tanpa tawaran. Aku lantas mengambil gelas itu karena tak enak hati bila menolaknya. Apalagi ia memandangku dengan senyum penuh ketulusan sembari meminum gelas satunya lagi.

Belum sempat memegang gelas itu, tangan Aletta menepisnya kuat-kuat. Gelas itu terlempar ke lantai dan menumpahkan cairan yang kini telah bercampur dengan kepingan kaca yang pecah. Semua tamu sontak terkejut dan memandang ke arah meja kami. Aku tak habis pikir dengan wanita ini, mengapa ia suka sekali mencari keributan.

Seolhaan dengan image wibawanya hanya mengutas senyum tipis. Tak ada satu pun perkataan yang terlontar dari mulutnya, namun satu tatapan tajam mampu membuat seisi penjuru mengerti apa maksudnya. Akhirnya para tamu menghiraukan keributan kecil yang barusan terjadi. Kini beberapa petugas kebersihan memasuki ruangan dan membereskan kekacauan yang terjadi.

Aletta yang melihatnya lantas berbicara dan mencegah petugas itu agar tak menggunakan tangan telanjang. Entah apa yang dipikirkan oleh wanita ini.

"Pak tolong gunakan kain lap atau sebagainya," ucap Aletta berusaha mencegah.

Tapi sayangnya bapak itu tak menghiraukan ucapan Aletta. Tak berselang lama tangan bapak itu memerah dan sedikit demi sedikit melepuh. Aletta yang melihat itu segera berdiri dan menarik bapak petugas kebersihan untuk keluar ruangan. Ia menuntunnya ke arah wastafel lalu menyuruhnya untuk meletakkan tangan yang memerah tadi di atas guyuran air keran.

Hujan Yang Tak Kunjung Mereda || RM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang