'Hidup manusia adalah sebuah perjalanan yang dilakukan secara bertahap-tahap.'
-Fariddudin Attar, Musyawarah Burung.
•~•~•
Mereka ada di ruang keluarga dirumah Musa.
Paman Erkan mengatakan bahwa Selim sudah kembali dari Istanbul ke Konya beberapa hari yang lalu. Hanya keberadaannya sulit dijangkau karena Selim tidak mau bertemu dengan siapapun.
"Paman, bagaimana soal kasus pembunuhan Selim?" Tanya Hulya.
"Tuan Musa berusaha menutupi kejahatan anaknya, dan beruntung keluarga gadis korban tidak menuntut Tuan Selim. Hanya saja berita ini sudah menyebar keseluruh penjuru Turki."
"Bagaimana bisa?" Amaiya tiba-tiba menyela. "Keadilan harus ditegakkan, orang yang terbukti melakukan tindak kejahatan dibiarkan begitu saja?"
Paman Erkan menjawab, "keluarga korban memaafkan perbuatan Tuan Selim, Tuan Musa juga sudah meminta maaf atas kejahatan yang dilakukan oleh putranya."
"Baiklah, sekarang pertanyaannya adalah bagaimana cara kita membujuk Selim agar mau kembali!" Seru Hulya.
Suasana d lantai dua rumah Musa Gazali itu sejenak hening. Tidak ada yang bersuara karena memikirkan jalan keluar masing-masing.
"Tidak bisakah kalian mengundurkan rencana ini? Maksud saya, dişarıda kar vırtınası var (ada badai salju diluar sana) dan bisa membahayakan." Risau Paman Erkan, karena semua tanggung jawab di sodorkan kepada dirinya maka kesehatan dan keselamatan Fazza juga menjadi tanggung jawabnya.
"Aku tahu dia dimana."
Semua orang tertuju pada Fazza yang membuka mulut setelah diam sejak tadi.
"Dimana?"
•~•~•
"Yang akan memberikan hukuman padamu adalah karma, Tuanku Selim. Aku memaafkanmu setelah kau membunuh putri ku tetapi hal itu tidak akan aku lupakan. Tapi ingat, suatu saat hal ini juga akan terjadi padamu."
Itu terjadi 3 tahun yang lalu, tapi sampai saat ini masih jelas diingatnya.
Perkataan itu terngiang-ngiang di telinga seorang pria yang kini sedang frustasi dalam hidupnya, Selim. Dia melempar barang yang ada di hadapannya kemudian berteriak.
Dia membunuhnya karena menolak cinta Selim, karena amarah membutakannya hal itu terjadi. Dan bayangan kesalahan terus menghantuinya.
Dia hidup, jiwanya yang mati.
"Anne, aku tidak tahu harus kemana lagi," lirihnya menjatuhkan kepala di meja. Tidak ada tempat sandaran dalam hidupnya, hidupnya memang seperti ini sejak baba mengusirnya dari rumah besar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
F A Z Z A (End)
Teen FictionHujan di luar semakin deras. Amaiya lihat tubuh Fazza bergetar, air matanya yang berusaha ia tahan sekarang menetes juga, lelaki itu nampak menarik napasnya dengan panjang. Terlihat ada sesuatu yang menahannya untuk berbicara. Namun tak lama setelah...