4. A Little White Lie to Protect a Bigger Truth

1.9K 195 27
                                    

ORANG satu itu benar-benar kelewatan, dia menguncikan aku di dalam mobil yang super gerah ini. Apa sih yang ada di dalam yayasan sana sampai setega itu dia meninggalkan aku tanpa satu penjelasan pun aku harus menunggunya seberapa lama!

Begitu kulihat dia akhirnya keluar dari dalam sana, seluruh kalimat makianku rasanya sudah siap menggumpal di ujung lidahku. Naasnya ketika dia masuk di hadapanku seperti orang yang tidak bersalah memberitahu bahwa urusannya sudah selesai, seluruh yang sudah kusiapkan untuk memakinya mendadak luap begitu saja. Memang aku siapa ingin memakinya? Yang ada dia hanya perlu mengeluarkan dua kata saja, aku sudah skakmat.

Wedding Agreement.

Siaaaaal!!!

"Kayanya kamu masaknya pakai hati, semua anak-anak tadi suka makanannya," ucapnya memujiku. Aku sampai menengoknya antusias.

Tapi tunggu, dia tidak sedang memujiku hanya untuk merayuku supaya besok memasak lagi, kan? Tidak, tidak akan! Aku ini dinikahi untuk jadi istrinya loh, bukan anjing penjaga atau bahkan ibu warung pribadinya.

"Kalau gitu harusnya tadi Kakak ngajak saya masuk juga, kan yang makan masakan saya jadi tahu kalau yang masak tuh saya! Saya! Bukan malah Kakak!" dumelku.

Dia mendadak mengukir senyum miringnya di sana, seperti orang aneh yang baru saja mendengarkan lelucon yang menyindirnya. Apa dia merasa lucu akan apa yang kukatakan padanya?

"Insya Allah, kapan-kapan saya ajak." Begitu jawabnya.

"Emang kenapa sih nggak tadi aja diajaknya? Kan saya juga mau masuk, masa iya saya dikunciin di sini. Panas tahu!" protesku lagi. Bagus aku tak mengatakan kalau yang dia lakukan padaku sejak kemarin tidak lagi manusiawi, tapi sudah hewani, nabati, anorganik, pokoknya semua yang tidak menganggapku seperti manusia layak!

"Saya takut kamu nggak nyaman di dalam, tunggu kamu siap dulu baru saya ajak lagi,"

"Emang itu tempat apaan sih? Takut banget aku masuk?!"

"Tadi itu yayasan tuna netra. Saya nggak mau ngajak kamu dulu sebelum dijelasin, takut kamu nggak betah, malah keterusan bersuara yang menyinggung perasaan anak-anak di sana. Saya nggak mau mereka kenapa-napa, saya sayang mereka, saya nggak mau orang yang mereka kenal justru kelak memberikan luka," katanya.

"Memang muka saya seantagonis itu, ya? Saya tahu kali, Kak, menempatkan kata-kata pada tempatnya. Kata Ayah tuh, likulli maqal maqam walikulli maqam maqal. Ada kalimat yang cocok di suatu tempat dan ada tempat yang cocok untuk suatu kalimat. Yakali saya ngomong sembarangan depan orang yang butuh semangat, anak-anak pula. Saya mikir lah!"

"Bukan itu maksud saya. Maksud saya itu, nanti kamu kan bakal pergi nih insya Allah, saya nggak mau anak-anak jadi cari kamu terus sampai dia mengenal orang yang mereka anggap teman untuk mereka,"

"Jadi kalau kamu nggak siap jadi teman untuk mereka, tolong jangan memberi mereka harapan bertemu dengan kamu!" sambungnya.

"Ya yaudah, aku bisa kok jenguk mereka, bahkan setelah kita nggak bareng lagi nanti. Pokoknya pekan depan kita masak buat mereka yang enak lagi, dan aku bakal kenalan sama mereka ... as your friend, gimana?"

"Kamu yakin?" tanyanya nekad menatapku sedang dia sedang mengemudikan mobilnya di tengah jalan, bukan di halaman rumahnya yang bebas jika harus menabrak apa pun!

"Seorang Naura Sabilah nggak pernah memutuskan sesuatu tanpa keyakinan. Sana ah, liat ke depan! Nabrak entar Kakak nih!"

"Okey! Kalau begitu, sebagai reward buat masakannya tadi dan pekan depan nanti, kamu boleh minta apa aja yang kamu mau. What ever you want!"

WEDDING AGREEMENT Putus atau Terus (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang