15. Not On Speaking Term

1.1K 143 20
                                    

"ANN tolong jadwal saya diatur ulang lagi, ya, kalau bisa jadwal perdinnya semuanya dirombak dalam waktu dekat-dekat ini, saya mau kerja sama kita dengan client bisa secepatnya diselesaikan-"

Aku mendengarnya sudah berada di lantai bawah sana tengah menelepon Kak Ann. Langkahku jadi semakin kupercepat atau keburu dia hilang dan lupa jam pulang seharusnya, seperti dua hari yang telah berlalu ini.

"Kak Afif, tunggu!" teriakku menuruni dengan cepat tangga penghubung lantai dan langsung menyusulnya yang tidak mendengarku. Jika tidak kuhadang di depan pintu utama rumah, dia pasti sudah berlalu.

"Ini ..." kataku sembari menyerahkan paperbag berisi pakaian yang mesti dikenakan untuk sholat Jumat. Dia sepertinya lupa sakin terburu-burunya ingin meninggalkan rumah. Mengingat pekerjaannya yang super sibuk, aku tak yakin dia akan pulang menunaikan sunnah jumatnya dulu, jadi kusiapkan saja pakaiannya.

"Makasih!" balasnya begitu dingin, dia membawa pergi paperbag-nya tanpa melirik kepadaku lagi. Dia bahkan tidak mengatakan apa pun, bahkan untuk menutup pagar, dia yang rela keluar masuk mobil ketimbang menyuruhku yang melakukannya.

Dia kenapa sih? Dia sedang marah kepadaku, begitu? Belakangan ini dia jadi hobi menjutekiku, bicaranya singkat, perginya selalu pagi, pulangnya juga malam sekali.

Aku jadi merasa bersalah, padahal kan besok sudah hari ketiga setelah hari pertemuan kita dengan Kak Alda, di mana dia memulai sikap dinginnya itu merembes kepadaku juga.

Jika besok aku belum berbaikan, mungkin saja sudah terhitung sebagai tindak memutuskan tali silaturahim. Aku tidak mau sampai menjadi alasan dia seacuh ini dengan teman serumahnya sendiri. Ibadah kita bisa sia-sia jika besok masih dalam kondisi menghentikan kebiasaan bersama atau yang biasa dikenal dengan istilah memutus silaturahim.

Aku harus membujuknya.

Tapi bujuk pakai apa?

Atau begini deh, bagaimana kalau aku memasak saja makan siang untuknya lalu kubawakan ke kantor. Kalau tidak salah Amaira pernah bilang dulu, bahwasanya cintanya seorang lelaki yang serius tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan seseorang yang dicintainya.

Jadi sejenis pemanfaatan situasi yang ada. Aku yakin Kak Afif tidak akan menolak kebaikan seseorang apalagi jika dia tahu aku yang memasaknya. Dia hanya akan menolakku, ketika kalimat Amaira tersebut tidak berlaku lagi di bumi ini.

Segera kusambangi dapur dengan sebuah gawai sebagai instrukturnya. Paling tidak, ya, kalau dia tidak mau lagi mengajariku memasak, aku akan memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk mengajariku.

Mulai kukeluarkan segala hal yang sekiranya kubutuhkan seperti sayuran, ayam, dan segala macam deh. Aku sampai harus bolak-balik internet untuk tahu apa-apa saja nama bahan yang kupunya dan kubutuhkan. Kalau ada ya syukur, kalau tidak ada berarti harus kutunggu kurir datang mengantar pesanan bahan-bahannya.

Pertama-tama aku akan bereksperimen membuat dimsum, setahuku dia kadang suka membawa pulang dimsum pulang dari kantor, kadang juga siomay biasa kalau tidak ada dimsum. Jadi aku akan membuatkan khusus agar dia tidak perlu membeli lagi.

Bagian pertama, adonan, instrukturku meminta mencampur semua bahan yang sudah kuhaluskan, lalu nantinya dibungkus dengan kulit pangsit dan parutan wortel di atasnya, kemudian dikukus.

Sembari menunggu kukusan dimsumku selesai, kurir juga sudah datang membawakan pesananku. segera kukerjakan semua menu makan siang yang akan kubuat untuk Kak Afif tanpa pikir panjang, semoga saja beberapa jam tersisa ini masih cukup untuk pemula sepertiku memberesi semua pekerjaan ini.

Aku benar-benar kewalahan membuat ayam pokpok dengan sambal matahnya. Kulihat presentase di YouTube tadi perasaan tidak seribet ini, malah ketika aku yang mengerjakan jadi super terasa ribet.

WEDDING AGREEMENT Putus atau Terus (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang