SETELAH kepergian Mama, hari pertama bertemu Kak Afif rasanya kita berdua jadi canggung. Sebenarnya bukan karena kepergian Mama sepenuhnya sih, semua ini masih berputar dari kejadian tengah malam kemarin. Aku juga tidak pernah berpikir kenapa aku harus melakukannya.
Tapi niatku baik loh, cuman karena sudah terjadinya begitu ... ya mau diapakan lagi.
Tidak mungkin empat bulan kedepan kita berdua saling diam-diaman hanya karena pernah sekali menciumnya. Itu pun kan di luar kesadaran masing-masing. Aku beneran nggak sadar kemarin.
Anggaplah begitu!
Pokoknya kita harus tetap berkomunikasi, memanfaatkan waktu yang tersisa bersama. Sepekan tidak bertegur sapa saja aku rasanya sudah frustasi berat, bagaimana empat bulan? Mungkin lidahku akan kelu, sekelu-kelunya!
“Kak Afif nanti jemputnya agak sorean aja, ya, soalnya bakal ada konsultasi tambahan sama Kak Panji. Katanya tesku bakal lebih cepat dari tes temen-temen yang lain, jadi mesti ngomongin duluan hal-hal yang akan diperluin dalam tesku nanti,” sahutku lebih dulu memulai pembicaraan ini.
“Loh, kok kamu baru bilang sekarang kalau tesnya udah deket?”
“Perasaan aku selalu bilang kok ke Kakak. Kakak belum seberapa tua aja udah pikun, dua bulan lalu aku pernah bilang kan aku bakal tes lebih cepet dari Amaira dan Olive,” kataku.
Bisa-bisanya kita berdebat di tengah kemudi begini. Aku belum mau menyusul Mama untuk pamer bahwa kita adalah anak dan menantunya yang kemarin dipamer, sampai Kak Afif emosi dan tidak sengaja menabrak trotoar.
“Dua bulan lalu itu udah termasuk lama, Bi. Udah ribuan jam berlalu, sekitar puluhan ribu menit yang terlewati. Wajar kalau lupa!” belanya, membuatku tak berpilihan selain mengalah saja.
Percuma mencari pihak yang bersalah, kalau dia saja sudah pikun-pikunan. Kecuali dia memang sengaja tidak lagi ingat tentangku semenjak rutin perdin dengan Kak Ann, beberapa kali juga mereka meeting di rumah tanpa mengajakku lagi, bahkan ketika Mama pergi ... Kak Afif menghubungi Kak Ann lebih dulu daripada aku.
Kemajuan yang bagus sih!
“Jadi kapan tesnya?” Kak Afif bertanya lagi.
“Sekitar 69 hari lagi,”
“Udah deket berarti, ya?” ucapnya lalu dengan beraninya menatapku. Entah dia memang tidak takut mati sekarang?!
“Enam puluh sembilan hari itu setara kaya dua bulan juga, Kak. Kira-kira masih ada 1.656 jam lagi, 86.400 menit. Jadi masih termasuk lama. Masih keburu Kak Afif lupa lagi!” uraiku menunjukkan perhitungan kalkulatorku di ponsel.
“Terus? Gimana dong?”
“Gimana apanya?”
“Berarti ... kamu udah mau ke California?” tanyanya nampak ragu.
“Kalaupun aku ke sana, paling cuman buat keperluan tes, habis itu balik lagi ke sini. Kenapa jadi lebay sih, kaya udah nggak balik aja!” dumelku sebal.
“Nggak terasa ya, Bi, waktu kita udah mau habis aja—”
“Kak Afif udah deh, stop! Jangan bahas gitu ya, tolong. Aku nggak mau nangis di sini, aku mau les, jangan ngasih beban pikiran. Entar aku nggak bisa berhenti nangis! Udah cepetan nyetirnya, makin lambat aja perasaan!” sergahku benar-benar tak ingin mendengar segala omong kosongnya.
“Iya, Bi, iya ...” terima Kak Afif segera mengembalikan kemudinya dengan benar menuju tempat les.
ʕ´• ᴥ•̥’ʔ
Setelah beres mengurus beberapa hal di tempat les, belajar, konsultasi, Olive dan Amaira juga menceritakan kepadaku bagaimana pemakaman Mama kemarin, aku langsung pulang tanpa menunggu Kak Afif datang menjemput.
KAMU SEDANG MEMBACA
WEDDING AGREEMENT Putus atau Terus (End)
SpiritualRomance-a bit spiritual. Memilih menikah di usia 17 tahun mungkin menjadi putusan berat yang harus dijalani Sabilah. Impiannya menjadi seorang mahasiswa harus ditundanya meladeni Afif yang berusia sepuluh tahun di atasnya. Di hari pertama menapaki r...