16. Damai

1.3K 151 11
                                    

HAMPIR seminggu sudah aku tidak lagi pernah bertemu Kak Afif bahkan untuk melaksanakan ibadah bersama. Setelah hari makananku ditolak mentah-mentah, kutemukan sticky note menempel di lemari es yang mengatakan dia akan perdin ke Palembang. Bahkan isi pesannya pun dia tetap saja bernada dingin memberi tahuku.

Kupikir kemarin mendengarkan ceramahnya semalam suntuk akan menjadi hukuman paling berat yang akan kuterima ketika dia tahu aku berusaha menjodohkannya dengan orang asing, ternyata dia mendiamkan aku begini jauh lebih menyiksaku.

Tidak pernah sekali pun aku berangkat ke paviliun, ke rumah, bahkan sebelum tidur pun kecuali aku pasti menangis meratapi nasibku. Sekarang aku tidak punya teman sama sekali.

Aku kehilangan Olive dan Amaira karena menutupi Kak Afif, dan aku sekarang ikut kehilangan Kak Afif karena perbuatanku kembali.

Setahuku Umi dulu sering bercerita bahwa masalah pertama yang seringkali menerpa pasangan suami istri umumnya hal yang berkaitan dengan ekonomi keluarga. Semisal, suami masih honorer biasa dan istri hanya mengurus rumah.

Sama seperti Ayah dan Umiku, memulai pernikahan dengan hantaman permasalahan ekonomi sebagai pembukanya. Kudengar Kak Aksa juga baru saja masuk ke bagian personalia perusahaan Kak Afif sedang Kak Zen baru saja memulai jenjang spesialis di mana uang pasti sangat diperlukan.

Sedang aku? Lihat masalah apa yang menjadi masalah pembukaku! Aku harus berhadapan dengan masalah keserasian. Aku selalu membuat Kak Afif jadi merasa tidak harmonis dengan ketidakserasian yang terjadi.

Ya Allah, kepada siapa aku harus berbagi keresahan ini?!

Di samping Mama tangisku rasanya tidak bisa lagi kubendung walau semenit pun, seandainya Mama bisa berbicara lagi mungkin dia akan memarahiku karena harus mengganggu istirahatnya dengan suara dan pelukanku.

Kita berdua sudah seperti pasien rangkap di bed hospital ini, aku ikut mengambil tempat berbaring sembari memeluk Mama di sampingnya. Suaraku sampai serak sesenggukan mengadu rasaku di sana.

"Bilah capek, Ma ... Bilah udah capek banget nangis terus!"

"Bilah pengen berhenti, tapi Kak Afifnya belum maafin Bilah,"

"Mama ... Mama bilangin Kak Afif jangan jutek-jutekin Bilah, Bilah nggak suka ..."

Bantal Mama sudah sangat basah oleh sebab ulahku, keadaanku terlihat menyedihkan demi seluruh hal yang kurasakan bisa sesegera mungkin luap tidak membebaniku kepalaku. Naasnya aku justru makin frustasi.

"Bilah yakin deh, Ma, pasti ... pasti Kak Afif sengaja ninggalin Bilah di rumah. Dia pake alasan perdin buat tinggalin Bilah. Kak Afif jahat banget sama Bilah!"

"Katanya Kak Afif sayang sama Bilah, katanya Kak Afif nggak punya alasan jelas kenapa jatuh cinta harus sama Bilah selain semua yang dirasain murni kiriman Allah—"

"Terus kenapa sekarang jadi jutekin Bilah? Kenapa jauhin Bilah? Kalau udah nggak sayang tuh bilang! Bilah bisa pulang ke Ayah lagi. Daripada Bilah harus ditinggal sendiri, Bilah takut di rumah nggak ada orang kaya sekarang gini ..."

"Kak Afif pulang dong ... bangunin Bilah sholat subuh, sekarang Bilah sholatnya sendiri tahu. Bilah sampai doa yang banyak supaya perdinnya nggak lama-lama, terus bisa ngobrol sama Kak Afif lagi,"

"Bilah tuh makannya udah nggak enak, udah asin banget nasinya pake kuah air mata, gara-gara Kak Afif resek banget ke Bilah!"

"Sekarang Bilah mukanya jelek bangeeet ... Mamaaa ..." Tangisku semakin pecah, semakin deras sampai tidak bisa kututupi lagi. Suster di luar juga sudah tahu kalau mendengar ada yang menangis sedari datang tadi, itu pasti aku. Mereka sudah bolak-balik menanyakan keadaanku tapi kutolak mengingat aku hanyalah pembesuk yang meminjam kamar mamaku menangis, bukan pasien mereka.

WEDDING AGREEMENT Putus atau Terus (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang