RASANYA bahagia sekali menjadi bagian yang dikenal anak-anak yayasan tunanetra tadi. Sebelum pulang kami sibuk sekali bermain bersama, berdoa bersama, makan bersama, semuanya bersama. Aku jadi lupa Kak Afif sudah menungguku untuk kembali ke rumah.
Sekarang pukul lima sore hampir menjemput magrib, kita sudah sampai di rumah. Badanku semuanya pegal tidak bisa diajak bernego lagi untuk bekerja di rumah, aku hanya ingin tidur saja rasanya.
"Sabilah, tunggu!" panggil Kak Afif, sebelum kakiku mengambil langkah naik ke tangga. Aku bergegas memenuhi panggilannya, di sana dia berjalan menyusulku yang mematung lemas dan tiba-tiba saja ...
Dia memelukku.
Aku kaget dong! Namun niat ingin menepisnya batal kulakukan ketika merasakan transfer energi baik dari pelukannya. Seperti, pelukan tulus, ingin menunjukkan hormon serotoninnya bekerja sangat baik sekarang.
"Terima kasih, Bi. Anak-anak tadi seneng banget main sama kamu ..." bisiknya dekat sekali di telingaku, sedang telinga sebelahku seperti mendengar degup jantungnya. Aku yakin dia tidak biasa memeluk seseorang seperti sekarang.
"Jadi gimana, aku masih kelihatan bakal ngelukain perasaan mereka nggak?" sindirku, tapi sepertinya dia sama capeknya denganku. Dia tidak tertarik melayani pancingan debat, kurasakan dia hanya menggeleng di bahuku memberi isyarat bahwa dia percaya kata-kataku sekarang.
"Udah ah, nggak usah kelamaan modus!" Aku bergegas melepaskan pelukan yang melingkariku, "Terima kasih kembali. Aku udah capek banget, pengen mandi. Bye, assalamualaikum!"
Cepat aku naik ke kamar untuk bersih-bersih, Kak Afif di belakangku juga pasti berpikir yang sama. Toh waktu magrib sebentar lagi tiba, ya kali sih aku minta diomeli lagi hanya karena merelakan waktu bersih-bersihku untuk meladeni peluknya. Hellow! Memang aku perempuan apaan!
Satu jam setelahnya kita kembali dipertemukan, tentunya pada saf yang berbeda tapi masih dalam satu baris dan satu niat yang sama, yakni beribadah. Dia menjadi imam dan aku makmumnya. Dia kepala dan aku tanggungannya.
Takbir seraya berkumandang mengalirkan dzikir tak berhenti hingga sepuluh menit kemudian, aku dan Kak Afif khidmat mengakhiri peribadahan dengan doa masing-masing. Sama sekali aku tidak ingin tahu isi doanya yang sudah pasti tidak ada namaku paling tidak supaya tahun depan aku lolos jadi mahasiswa, jelasnya aku mendoakan kebaikan bersama, untuk aku, dia, keluargaku, keluarganya, dan anak-anak yayasan tadi.
Aku selalu percaya bahwa hubungan karena Allah adalah ikatan paling mulia yang ada di muka bumi ini, aku berharap orang-orang yang kukenal sekarang tidak akan punya pikiran melupakan aku bahkan ketika tahu segala burukku. Karena aku mengenalnya, bukan karena aku pandai bergaul, tapi karena Allah yang memberi jalan untuk saling mengenal.
Begitu doaku selesai, aku harus menunggu sebentar Kak Afif selesai berdoa baru kemudian ritual mencium tangannya selayaknya Ayah kulakukan, dia hanya balas tersenyum.
Huft!
Kalau dia sudah menjelma jadi ubin masjid begini kan jadi enak liatnya, adem, no debat-debat. Sampai magrib besoknya pun aku mau kok ngobrol dengan dia terus.
"Ternyata buat dia jadi seseneng gini nggak ribet-ribet amat, ya!" batinku yang terlalu nyata, sampai dia mendongak kembali ke mukaku setelah mendengarku bermonolog sendiri.
"Ya?" katanya memastikan barusan dia mendengarku mengatakan sesuatu.
"Kamu bahagianya simpel. Anak-anak kamu udah dibuat seneng, efeknya bisa ngaruh di kamu sampai sekarang,"
"Emang saya kelihatan bahagia karena itu?" tanyanya mempertanyakan balik pradugaku.
"Yaiya dong, karena apa lagi coba?"
KAMU SEDANG MEMBACA
WEDDING AGREEMENT Putus atau Terus (End)
SpiritualitéRomance-a bit spiritual. Memilih menikah di usia 17 tahun mungkin menjadi putusan berat yang harus dijalani Sabilah. Impiannya menjadi seorang mahasiswa harus ditundanya meladeni Afif yang berusia sepuluh tahun di atasnya. Di hari pertama menapaki r...