22. Music or Quran

880 89 36
                                    

SEHARIAN penuh beraktivitas pada event berbagi tadi, membuat seluruh tubuhku rasanya perlu semangat lebih untuk menemui hari esok. Beres melaksanakan ibadah sholat Isya, sejenak kita berdua memilih melimpir ke tempat sofa baru di sudut ruangan yang berdampingan dengan mushollah langsung, aku masih dengan mukenaku, dia juga masih menggunakan sarungnya.

 Beres melaksanakan ibadah sholat Isya, sejenak kita berdua memilih melimpir ke tempat sofa baru di sudut ruangan yang berdampingan dengan mushollah langsung, aku masih dengan mukenaku, dia juga masih menggunakan sarungnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebelum kita melanjutkan kesibukan masing-masing setelah ibadah terakhir sebelum tidur, sofa tersebut memang menjadi pangkalan tetap kita mengobrol sebentar. Sekitar lima belas menit biasanya, baru aku boleh ke depan komputerku mengerjakan tugas les, dan Kak Afif ke kamarnya, kadang.

Aku tak perlu kan menjelaskan rutinitas dia sebelum tidur juga?! Disuruh pun aku tidak akan mau mungkin.

Aku tak perlu kan menjelaskan rutinitas dia sebelum tidur juga?! Disuruh pun aku tidak akan mau mungkin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ngomong-ngomong ini adalah spot favoritku dan Kak Afif di rumah, tepatnya di ruang tengah. Selain komputerku, di sana ada sofa favorit Kak Afif juga, serta lemari putih besar di samping komputerku terdapat salah satu ordner yang menyimpan khusus perjanjian sakral antara aku dan Kak Afif ketika pertama kali hidup bersama.

Isya semakin berlalu, waktu berbincang dengan Kak Afif di samping mushollah mungkin jadi sedikit bertambah, dikarenakan aku menawarkan penawaran simbiosis, saling menguntungkan, sebelum melakukan night routines masing-masing. Aku minta dipijit sebentar, dan aku akan melakukan hal yang sama.

Tadi giliranku sudah selesai, tangan besarnya itu selain ahli menandatangani berkas milyaran, dia juga ahli dalam memijit ternyata. Justru malah aku yang dirugikan di sini, tenagaku berbanding terbalik dengan bahunya yang sekeras balok, bagaimana tanganku tidak bertambah pegal coba?!

Aku memang bodoh bahkan dalam hal bernegosiasi begini.

“Kak Afif cukup perasaannya yang kaku, bahunya jangan ikutan kaku dong! Capek tahu pijitnya!” dumelku ingin sekali menangis rasanya.

“Belum juga dua menit pijitnya, udah capek aja. Aku pijit kamu hampir sepuluh menit loh tadi!”

“Aku gantinya pake peluk aja boleh nggak sih?” tawarku mulai putus asa, jahatnya karena dia bahkan tidak akan mau menukar dengan apa pun penawaran awalku.

WEDDING AGREEMENT Putus atau Terus (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang