FAILED!!!
Tak ada lagi dinner malam ini, tidak ada suasana romantis, bahkan lidahku mendadak jadi kelu menghadap Kak Afif di sofa ruang tengah. Aku yakin bekas tamparanku masih panas di pipinya, dan aku tak yakin tadi aku menamparnya murni ingin menyadarkannya atau sudah bercampur dendam karena hampir merobohkan bahuku.
Dia sudah menatapku hampir se-jam yang telah lalu, namun seberkas pun suaraku tidak terdengar. Untuk mengatakan maaf saja aku bingung bagaimana menyusun abjadnya. Aku belum pernah menampar seseorang sebelumnya, apalagi dengan tenaga yang setara membengkokkan rahangnya barusan.
Aku mendengar jelas decak tamparanku tadi benar-benar berhasil menyadarkan dia dari yang gemetaran sampai tak beranjak dari tatapan menginterogasinya seperti sekarang.
Ctakkk ...
Itu adalah suara terhoror yang pernah melintasi pikiranku sampai saat itu. Apa dia kesakitan sampai sekarang, ya? Suaranya sampai tidak terdengar lagi.
“Mmm ... K-Kak Afif, nggak ... apa-apa?” tanyaku akhirnya berani mengangkat suara ketakutanku yang terbata-bata. Namun sama sekali dia tidak beranjak dari pandangannya yang terus menyelidik tanpa jawaban.
“C-coba sini ... aku liat pipinya,” kataku dengan ketakutan mendekatinya kini, satu kali pun aku tidak pernah seberdebar ini di dekatnya, “Oh, ini mah ... ng-nggak apa-apa. Masih sakit ya ... emang?
Dia kemudian menarik mundur wajahnya dari aku yang berjarak sangat dekat dari pipi dia, lalu lamat tatapannya kembali menangkapku seperti meneransfer sesuatu dari balik tatapannya itu.
“Ma-maaf, ya, Kak, tadi aku nggak sengaja nampar Kakak,” kataku beralih memanfaatkan eyes to eyes tersebut, jantungku rasanya hampir tidak kuat merasakan debaran yang menghantuk itu.
“Saya sudah sering menceritakan bahwa dulunya saya pernah ketakutan dalam kehidupan yang redup tidak bercahaya, saya pikir kamu akan mengerti bahwa saya ketakutan, Bi. Ternyata kamu tidak akan pernah mengerti apa pun yang tidak kujelaskan. Apa semuanya harus aku katakan dengan lisan agar kamu paham tentang perasaanku, Bi?” Kata-katanya begitu dingin menembus jantungku.
Setidak peka itukah aku? Sebodoh itukah aku memahami perasaan seseorang?
Oh Tuhan, mengapa aku begitu polos?
“Maafin Bilah, Kak, tapi maksud Bilah tuh baik. Bilah pengen kasih surprise, karena ini udah bulan kesembilan kita bareng-bareng. Tadi pagi Bilah soalnya lupa ngasih tahu, jadi sekalian deh pengen buat surprise dinner juga,” suaraku pecah memberinya pemahaman.
“Sembilan bulan itu hanya hitungan waktu yang telah habis, Bi, kamu nggak perlu mengingatkan saya. Saya udah bilang, saya hanya ingin punya kenangan selama yang saya bisa bersama kamu, Bi ... tidak lebih.”
“Sepenting itu ya Bilah buat Kak Afif?” tanyaku tiba-tiba ingin tahu.
“Apa kamu ragu, Bi?”
“Enggak. Bilah cuman menyimpan sedikit heran aja, sepenting apa sih Bilah di mata Kakak? Especially yang harus menyangkut Mama juga. Kenapa sih Kak Afif selalu berlagak peduliin Bilah ketimbang Mama? Aku nggak pernah berharap Kak Afif akan menganggap Bilah sepenting itu buat kehidupan Kak Afif,” ungkapku jauh mengais ke belakang.
“Bi, kamu ingat nggak ketika Mama pertama kalinya ngobrol sama kita. Hari itu saya seharusnya kecewa, kenapa sebelumnya kamu membicarakan tentang perpisahan kita dengan Mama, saya nggak pernah berharap Mama akan tahu tentang pernikahan terbatas ini. Mama adalah orang yang nggak pernah rela saya sedih. Dan karena perbuatan kamu itu, selama ini saya harus berusaha sebisa mungkin meyakinkan Mama ... bahwa kamu tidak akan pergi, meski aku harus mati-matian menipunya!”
KAMU SEDANG MEMBACA
WEDDING AGREEMENT Putus atau Terus (End)
SpiritualRomance-a bit spiritual. Memilih menikah di usia 17 tahun mungkin menjadi putusan berat yang harus dijalani Sabilah. Impiannya menjadi seorang mahasiswa harus ditundanya meladeni Afif yang berusia sepuluh tahun di atasnya. Di hari pertama menapaki r...