3. Cooking Day

2.3K 207 33
                                    

“Assalamualaikum!”

Dini hari sekali, entah jam berapa, langit sepertinya masih gelap pekat, dan gedoran di pintu kamarku sudah ramai bak acara penyambutan adat akan kedatangan pemimpin negara ke wilayah terpencil. Mengganggu sekali untuk orang-orang yang baru tidur beberapa jam lalu.

Mataku yang sulit terbuka sudah kukunci rapat, meski aku mendengarnya dengan baik kuputuskan untuk tidak beranjak, membiarkan dia bermain drum di pintuku. Malas saja meladeninya, paling yang datang tidak lain si tua satu itu. Yang tinggal di rumah ini kan hanya dia dan aku, tidak ada siapa pun selainnya.

Tapi semakin kudiamkan, bukannya menyerah, dia malah semakin nekad juga. Aku kaget bukan main tatkala selimutku tiba-tiba disingkapkan, gulingku ditarik, menyisakan aku yang berhasil dibangungkan paksa memeluk lutut sendiri.

“Ka-kamu, kok bisa masuk?” ucapku gelagapan ketakutan, aku yakin sudah mengunci pintu malam tadi dan pagi ini mulut pintu kamarku tiba-tiba bergelantungan seperangkat kunci di bagian luar.

Aku semakin takut, aku takut diapa-apai di waktu semalam ini, sedang kuasaku mungkin tidak akan cukup membangunkan tidur tetangga untuk menolongku. Air mataku sudah di ujung kelopak rasanya, sedikit lagi pecah jika dia berani mengambil langkah sejengkal saja. Kurengkuh lututku ketakutan untuk menyakinkan dia agar mengasihaniku kali ini.

Tolong, lihatlah aku selayaknya anak remaja polos, bukan istrimu!

“Gara-gara harus bangunin kamu yang susah, saya jadi nggak berjamaah di masjid. Cepat ambil wudhu, ikut saya berjamaah di rumah!” katanya sebelum berlalu keluar lagi.

Ak-aku?

Aku yang disalahkan?

Tunggu, jam berapa sekarang? Kutengok cepat jam di layar ponselku, ternyata sudah subuh hampir mendekati pagi. Aku bergegas cepat ke kamar mandi mengambil wudhu sebelum menyusulnya berjamaah. Syukur kali ini aku tidak lagi tertinggal, meski harus merelakan sholat Subuh berjamaah Kak Afif di masjid untuk membangunkan kekeboanku yang tidak ingat waktu pagi.

Kami beribadah di ruang mushollah kecil dekat ruang tamu, aku berdiri mengikuti takbir dan segala gerakannya selama beribadah. Untuk urusan ini aku sama sekali tak punya hak bantah, perintahnya benar untuk kuikuti. Aku berharap dia tidak kapok membangunkanku lagi, setidaknya dengan setahun aku dibangunkan terus olehnya sudah bisa mengantarku mengingat waktu subuh secara konsisten. Kata Ayah, challenge yang harus dilakukan supaya bisa konsisten sholat Subuh adalah cukup dengan mengusahakan 40 hari pertama tidak putus melaksanakannya, hari berikutnya insyaa Allah pasti akan bangun sendirinya.

Baiklah, kali ini aku sudah optimis bisa melakukan-nya. Aku percaya kemampuan Kak Afif untuk melepaskan rantai setan yang mengikat kakiku, nyanyian merdu setan di telingaku, dan lem yang setan rekatkan di mataku setiap subuhnya. Seperti kali ini, aku berhasil dibebaskan.

Entahlah besok.

Beres ibadah wajib, berdzikir, dan diakhiri doa, cepat kubuka mukenaku untuk segera beranjak meninggalkan tempat. Nanti dia minta tangannya dicium macam Ayah di rumah lamaku dulu, kan. Big no! Aku juga sudah optimis tidak akan menyentuhnya sampai kapan pun. Lebih mending aku ke dapur mulai memeraktikkan cara memasak nasi sendirian sesuai pemahaman yang kudapat kemarin.

Okey, mulai dengan mencuci berasnya, berapa kali ya kemarin? Tiga mungkin. Baik, tiga kali sampai kurasa benar-benar bersih. Tambah airnya, um ... kisaran berapa ya? Segelas mungkin cukup?

“Kamu masaknya berapa banyak?” sahutnya, aku sampai kaget tiba-tiba dia berdiri di belakangku seperti pengawas ujian yang mendapatiku membuka contekan.

“Dua liter. Kan makannya berdua aja, jadi nggak perlu banyak-banyak,” jawabku sok memorsikan segalanya dengan sangat terstruktur.

“Dua liter??? Biasanya saya masak dua liter itu kalau keluarga saya lagi kumpul-kumpul aja, dua liter itu sudah full sepanci loh. Kamu yakin bisa habisin sepanci?”

WEDDING AGREEMENT Putus atau Terus (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang