2. H+1

3.2K 247 18
                                    

PAGI yang cerah menyambutku semangat di hari pertamaku tidur di kamar yang bukan kamar berwarna serba gelap lagi. Jika dulu aku suka dengan suasana tenang di bawah sinar remang-remang lampu tidur dan seisi kamar mengundang nyamuk berdatangan sakin warnanya yang harus serba gelap, dinding, kasur, selimut, lemari, gorden, semuanya gelap, hari ini segalanya telah berubah menjadi serba terang.

Dinding, kasur, lemari, segalanya putih, ditambah kaca di belakang gorden sana menambah kesan aesthetic ruangan yang kuhuni sekarang. Kain putihnya kusingkapkan segera mengingat ini sudah sangat pagi, air kolam di bawah sana juga menggiurkan. Aku harus merasakannya ketika Kak Afif sudah berangkat ke kantor.

Aku bergegas turun dari kamarku segera, menyambangi meja makan yang ternyata sudah siap nasi goreng kecap dengan toping telur mata sapi juga susu putih di sana.

Heuh! Apakah dia berpikir sedang memperistri anak TK, sampai menunya harus selugu itu?

Oh God.

Tapi ya sudah, tidak masalah, lebih mending aku disiapkan ketimbang tidak sama sekali, segera kulahap tanpa berpikir dua kali. Dia sepertinya sudah di-briefing Umi bahwa anaknya ini setiap pagi harus sarapan sekalipun hanya selapis roti.

“Ekhem!”

Aku tersentak, badanku yang menghadap meja sontak menoleh ke belakang mendengar sekilas suara dekat telingaku. Kukira penghuni rumahnya yang tak kasat mata hendak berkenalan juga denganku, malah yang kulihat adalah sosok yang lebih menyeramkan.

Dia.

Dia dengan kaos hitam ditutup dengan jas kasualnya mengisi penuh penglihatanku yang aneh. Bukan apa-apa, dia bukan aktor muda Korea Selatan loh, apa gayanya tidak bisa menyesuaikan sedikit dengan umurnya? Dia mau ke kantor, bukan mau diwawancarai media Barat. Masa kaosan begitu? Tidak cocok!

Dia cocoknya pake kemeja, celana kain, dengan dasi panjang mengait di keranya, persis gaya Pak Rudi, kepsek hampir pensiun di sekolahku dulu.

“Seharusnya kamu yang bangun pagi, siapkan saya sarapan. Bukan kamu yang makan sarapan saya,” katanya menohokku.

What? Jadi ini sarapannya?

Haduh Bilah, cerobohmu kenapa tidak ketulungan sih? Paling tidak kamu menumpang tahu diri buat masakan sendiri, bukan malah asal mencomot makanan orang seperti dulu masih jadi anak Umi. Sekarang Umimu tidak tinggal di sini lagi, lelaki itu mana paham bagaimana manjamu ke Umi yang apa-apa mesti tanya Umi. Sarapan tanya Umi, kaos kaki tanya Umi, jajan tanya Umi, semuanya ditanyakan ke Umi!

“Oh ini sarapannya ya? Ma-maaf, saya buatin yang baru deh,” ucapku asal. Sejak kapan aku tahu membuat sarapan?!

“Nggak usah, keburu telat, saya sarapan di kantor aja nanti,”

Heuh, bagus lah! Batinku dalam hati. Aku memang tak ada keahlian dalam dunia dapur, aku mending seharian hidup di depan komputer mengotak sisi lain internet yang tidak diketahui orang banyak, ketimbang terjun memegang spatula macam yang Spongebob lakukan di Crusty Crab. Impianku ingin masuk perusahaan Google, bukan masuk Bikini Bottom!

“Oh iya, tadi saya liat lemari, kok mukena buat kamu masih di sana? Kamu di kamar sholat Subuh, kan?”

Astaghfirullah, la ilaha illallah!

Penyakit apalagi yang kubawa ini?

Naura Sabilah, please, sadarlah. Mau tunggu usia berapa sih kamu tidak akan lupa untuk ibadah satu itu? Percuma Ayah dan Umi mati-matian mengajariku ilmu agama kalau sudah dilepas begini bukannya sudah khatam malah aku tetap saja lupa?

WEDDING AGREEMENT Putus atau Terus (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang