TEPAT di pukul setengah empat sore, kita berdua sudah memutuskan meninggalkan gedung setelah menunaikan sholat asar di mushollah pegawai tadi. Di hadapan rumah Umi sempat kulihat ada sepeda motor Kak Aksa memarkir di sana juga, itu artinya dua menantu Umi sedang berkunjung di waktu yang sama.
“Assalamualaikum, Umiii ...” pekikku langsung masuk mendatangi Umi yang sedang mengobrol dengan Kak Zen dan Kak Aksa.
“Waalaikumussalam warahmatullah wabarokatuh. Ya Allah, ini kenapa nggak pada bilang-bilang mau dateng sih? Umi kan jadi nggak siap-siap dulu,”
“Udah Umi ngapain mau siap-siap kalau ketemu Bilah doang sih, udah kaya pengen ketemu cucu ratu Inggris aja. Ini Bilah, masih anaknya Umi nih!” balasku masih gemas memeluk lengan Umi yang sedikit berisi kutinggalkan.
“Terus Bilah dateng bawa kabar apa juga nih buat Umi? Kayanya feeling Umi Bilah akan menyempurnakan kebahagiaan Umi sore ini deh,”
“Emang Umi kenapa? Kok Bilah perhatiin seneng banget kayanya,” tanyaku penasaran. Umi dan Kak Zeina sudah otomatis tersenyum aneh mendengar pertanyaanku. Bikin penasaran saja kan!
“Jadi ... Umi tuh bentar lagi akan jadi nenek! Kak Zeina udah hamil sayang,” Umi mengumumkan dengan penuh kesyukuran. Aku dan Kak Afif sampai bersamaan mengucap hamdalah sakin tidak menyangkanya.
“Kak Zen beneran hamil, Mi? Bentar lagi Bilah punya ponakan lucu dong, ya?! Ya Allah, Alhamdulillah, Bilah seneng banget dengernya!”
“Masa cuman ponakan buat Bilah sih, Dek? Masa iya nggak ada pikiran ngasih Kak Zen sama Maura keponakan juga,” sergah Kak Zen dengan suara pancingannya. Aku dan Kak Afif jadi saling melempar lirikan kikuk beberapa saat.
“Gini ya, Kak, yang namanya urusan anak, itu udah mutlak Allah yang ngasih, mau cepat atau lambat, ada atau enggak, itu semua bukan kehendak kita. Kita cuman bisa usaha. Setiap orang menikah kan ... ujiannya berbeda-beda. Apalagi soal anak, mungkin ada yang dimudahkan, ada juga yang mesti usaha lebih dulu. Buat kita yang mungkin dikasih amanahnya lebih cepat, seharusnya nggak menyudutkan keadaan rumah orang dong, karena kita nggak pernah tahu mungkin aja di dalam rumah tersebut ada frustasi yang ditampung karena omongan orang lain juga,” petuahku.
“Astagfirullah, Dek, maksud Kakak tuh nggak gitu! Kakak bukan mau nyindir kamu, Kakak justru berharap kita berdua secepatnya dikasih kepercayaan oleh Allah untuk mendidik seorang anak. Kakak nggak bermaksud macem-macem,” Kak Zeina jadi salah paham kan.
“Iya, Kak, Kakak kenapa jadi baper sih? Aku cuman ngasih tahu aja, bukan nuduh Kakak sindir aku. Toh juga, mungkin belum dikasih amanah sama Allah adalah pilihan terbaik buat aku sama Kak Afif. Jadi nggak usah ngerasa bersalah gitu kali!
“Oh iya, aku sama Kak Afif tuh hari ini mau nginap, Kak Zen sama Kak Aksa nginap juga dong, abis itu kita dinner bareng di depan Kak Maura, gimana?” sambungku menyengir jahil melirik Kak Zen.
Namun aku lupa Kak Zen berada pada kubu siapa. Tergambar jelas dari responnya yang seperti tidak akan membelaku.
“Nggak boleh gitu dong, Bil, adabnya kurang tepat. Kalau kita punya temen atau saudara yang masih sendiri, seharusnya kita bantu dia, bahkan kalau perlu kita kenalin dengan saudara atau sahabat yang kita percaya. Ini kok malah pengen di-bully sih?”
“Tahu ah! Kak Zen udah kelamaan bergaul sama dia sih, jadi nggak bisa bantuin aku bales perbuatan Kak Maura selama ini! Udah ya, Umi, Kak Zen, Kak Aksa aku pamit ke taman kota dulu, mau main sama Kak Afif,” putusku tidak ingin berlama-lama di antara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
WEDDING AGREEMENT Putus atau Terus (End)
SpiritualRomance-a bit spiritual. Memilih menikah di usia 17 tahun mungkin menjadi putusan berat yang harus dijalani Sabilah. Impiannya menjadi seorang mahasiswa harus ditundanya meladeni Afif yang berusia sepuluh tahun di atasnya. Di hari pertama menapaki r...