SEKIAN hari berlalu setelah pertemuan-pertemuan dengan Mama dan anak yayasan rutin kulakukan dengan Kak Afif yang sekarang pulang dua jam lebih awal sesuai permintaanku di hari umurku bertambah kemarin. Untuk hari ini, Kak Afif sengaja tidak ikut ke paviliun karena Ayah memanggil dia ke rumah mengurus beberapa hal penting di pernikahan Kak Zen besok, dan aku di paviliun menjaga Mama supaya mau makan, mau sembuh, dan pulang bersama, meski Mama terus berpikir kaku.
Sudah dua jam aku duduk bercerita semua hal tentang Kak Afif yang kuketahui, aku yakin sebagai ibu yang tak pernah bertemu anaknya sekian lama, dia jelas merindukan bagaimana kabarnya sekarang. Semua hal tentang bagaimana aku mengenalnya di awal pertama kali kukenal ketika datang bertamu ke rumah sampai aku yang bertamu di rumahnya, kukeluarkan semua.
Mama masih diam menatap ke depan, sesekali dia memberikan isyarat untuk mendengar yang lain dengan menggerakkan alisnya, itu saja aku sudah bahagia dan semangat mengulik pengetahuanku tentang Kak Afif.
Meski nol besar.
Baru sekali ini rasanya dia jadi penting untuk kuingat-ingat.
"Mama pasti nggak nyangka anak Mama tuh sekarang udah dewasa banget. Gayanya juga masya Allah banget, Ma, udah kaya belom punya istri sama sekali! Suka sok cool gitu, Ma, gimana coba orang pada nundukin pandangan kalau dianya tebar pesona mulu!"
"Bilah tuh pengennya Kak Afif rame gitu depan orang lain, biar pada ilfeel kan. Kalau dianya mukanya dingin, suka sok jual mahal, orang makin interested lah. Udah tahu rata-rata standar orang Indonesia sekarang tuh ya, Ma, senengnya yang kelihatan berwibawa, keren, good attitude, yang gitu-gitu, Ma!"
Hash! Secara tidak langsung, kenapa aku jadi seperti memuji karismanya?!
Padahal niatku tidak begitu, aku hanya ingin menggambarkan seperti apa kelakuan anak Mama satu-satunya itu. Aku sebenarnya malas mengatakan ini, tapi kurasa perlu kuberitahukan kepada dunia seberapa tidak adil laki-laki yang menyandangkan dirinya gelar sebagai seorang suamiku.
Bayangkan, ya, di rumah dia tidak pernah sungkan berpenampilan seperti adik bungsunya Ayah, tapi sekali keluar ke kantor atau ke mana-mana dia pasti berpenampilan tidak seperti sepuluh tahun lebih tua di atasku.
Biar kugambarkan!
Mulai dari di rumah dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
WEDDING AGREEMENT Putus atau Terus (End)
SpiritualRomance-a bit spiritual. Memilih menikah di usia 17 tahun mungkin menjadi putusan berat yang harus dijalani Sabilah. Impiannya menjadi seorang mahasiswa harus ditundanya meladeni Afif yang berusia sepuluh tahun di atasnya. Di hari pertama menapaki r...