6. The Reason by Our

1.8K 174 21
                                    

SETELAH berdekam seharian di dalam kamar, orang tua itu sama sekali tidak memanggilku untuk sekedar makan malam sejak kejadian kolam tadi pagi. Aku sudah keroncongan di kamar menunggunya datang menawariku, namun dia tak kunjung datang membujuk.

Segala gengsiku terpaksa harus kudepak jauh mengingat keselamatan perutku jauh lebih penting. Aku menyusup diam-diam mencari sesuatu di dapur, namun yang kudapat hanya makanan sisa Kak Afif siang hari tadi yang sudah berlendir.

Ya Allah, kenapa begini sekali nasibku?!

Aku tak pernah menyangka akan seperti ini garis tangan dari seorang perempuan yang menikah tanpa mengerti dasar-dasar memasak, aku dipaksa memilih hendak menginjak-injak gengsiku atau busung lapar sampai besok.

Dengan amat terpaksa aku kembali ke lantai atas mengetuk pintu Kak Afif untuk menanyakan bagaimana cara membuat telur dadar.

Hanya itu ide yang terbesit dari pemikiran sempit yang kupunya ini.

"Kak Afif ... Kak Afif udah tidur?" panggilku sembari mengetuk di pintunya.

"Ya? Kenapa Bilah?"

"Buka dulu pintunya, masa ngobrolnya sama pintu gini sih!"

"Tunggu sebentar," katanya dari dalam. Aku turut memenuhi permintaannya menunggu sebentar sebelum dia akhirnya membuka pintu bersama senyum anehnya yang tak bisa kudefinisikan.

Habis apa dia di dalam, kenapa bahagia sekali kelihatannya?

Dia tidak habis ... hash!

Sabilah please, berhenti perpikir yang tidak-tidak deh. Kamu lebih baik mengingat segala kelebihan dia, seperti kefasihannya mengimami sholat subuhmu atau pemahamannya yang cukup baik dalam permasalahan syariat, supaya pikiranmu positif setiap melihatnya selama setahun kedepan.

"Kakak baik-baik aja, kan?"

"Hah? Iy-iya, saya ... saya baik-baik aja,"

"Yakin?" tanyaku mempertanyakan kembali sembari kutunjuk dengan mataku kedua tangannya yang bergetar tidak ditepikan dari depan badannya.

"Oh ini? Ini tadi habis terima kabar dari sekretaris soal kerja sama pembangunan tol di Kalimantan dengan pemerintah. Jadi saya ... saya masih nggak nyangka, but it's okey. Saya nggak kenapa-kenapa, nggak usah khawatir!"

"Siapa yang khawatir, ge-er banget! Saya tuh ke sini mau ngasih tahu, makanan di dapur udah basi ... aku boleh minta tolong ajarin aku dadar telur nggak?"

"Kamu laper?" tanyanya seperti orang meledek.

"Heuh! Saya kan udah ngomong, masa belum ngerti juga sih? Ya iya dong saya laper,"

"Emang tadi ngapain aja di kamar, kok nggak keluar makan? Basi kan makanannya nggak ada yang sentuh,"

"Kepo deh. Mau nggak ajarin dadar telur?"

"Hm ... gimana, ya? Harusnya sih mau, tapi berhubung saya laper juga, jadi kayanya kita order aja kali, ya?"

"Ide bagus!" setujuku setelah berpikir singkat. Kalau ada yang mudah, kenapa harus yang susah.

Tidak lebih dari tiga puluh menit, pesanan-pesanan yang di-order mulai berdatangan mengisi meja di pinggiran kolam. Aku yang minta untuk makan di sana tadi, sejak lama aku memang memimpikan bisa makan malam tidak di meja makan.

Aku yang menata seluruh dekorasinya dari kursi, piring, deretan lilin kecil di sekitar meja, makanan, sampai lampu yang hanya boleh menyala, aku yang menatanya semua. Niatnya sih supaya lebih aesteutic, bukan romatis ya!

WEDDING AGREEMENT Putus atau Terus (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang