AKU, Raya, dan Kak Afif. Kami bertiga sudah di sini, dituntut menghabiskan malam bersama-sama di ruangan bernuansa serba gelap ini. Raya sudah tertidur lebih dulu dipeluk omnya yang lebih dia pilih ketimbang aku, sedang aku masih tetap menyimak mereka bersama kisah teladan dari Maryam binti Imran, ibunda dari Nabi Isa alaihissalam, tamat diceritakan Kak Afif kepada batita tiga tahun itu.
Aku jadi menangkap satu hal penting dari segala pengamatanku tentangnya. Aku pikir dia punya obsesi tertentu terhadap anak-anak. Mungkin dari kisah hidupnya yang menguras emosi di masa kanak-kanak, dia jadi punya ketertarikan khusus untuk membahagiakan anak-anak yang dia kenal.
Keanu Reeves.
Tiba-tiba aku teringat bacaan tentang tokoh tersebut. Aku pernah baca artikel bahwa dia pernah ditinggalkan oleh ayahnya, lalu sempat diasuh oleh tiga ayah tiri. Ketika Keanu sukses, tidak lepas satu orang kesulitan pun yang dilihatnya selain dia pasti menolongnya.
So, dari dua tokoh itu, Keanu dan Kak Afif, aku jadi punya kesimpulan sementara, bahwa terkadang ya, orang yang paling baik adalah mereka yang pernah punya masa lalu paling kelam.
"Kamu ngapain liatin saya?" sahutnya membuyarkan isi penglihatanku.
"Ah? Enggak. Aku lagi liatin Raya. Dia kayanya udah tidur,"
"Ya udah, tolong kamu ambil Raya nih, biar saya tidur di bawah. Besok mesti bangun pagi, kan. Bisa nggak tidur kamu risih liatin saya terus!"
"Apaan sih, Kak. Ngapain mau tidur di bawah, udah nggak usah ke mana-mana! Entar ada yang liat kamu tidur di bawah, gimana? Lagi pula kamu jangan kegeeran, saya nggak akan nyentuh kamu cuman karena sekasur. Catat itu!" tegasku memperingatkan.
"Kalau gitu, sana. Ngapain masih nengok ke saya? Ada kalau kamu ngajak ngomong terus, kamu jadi nggak tidur-tidur!"
"Kak Afif, please liat jam dong, ini baru aja beres Isya, siapa coba yang bisa tidur se-early ini?! Nggak ada pikiran aja, tidurku nggak jam delapan, apalagi lagi rumit-rumitnya gini!" kataku menunjuk jam tepat di atas pintuku.
"Emang kamu ada masalah apa?"
Ah iya, aku sepertinya perlu memberi tahu dia tentang masalah yang menimpaku di luar dari urusan Mama. Aku tahu dia mengetahui sesuatu yang menjadi kesalahan paling fatal yang terjadi antara aku dan teman-temanku.
"Kak Afif inget Olive sama Amaira? Mereka udah tahu semuanya, Kak. Mereka kecewa banget setelah tahu aku bohongin soal pernikahan kita yang sebenarnya," kataku sembari mendatangi Raya untuk kusapu bersih rambut-rambut kecil di pelipisnya.
"Itulah kenapa aku nggak minta kamu memulai semuanya dengan kebohongan, Bi. Kita kan bisa ngertiin semua orang keadaan kita tanpa harus menipu mereka,"
"Aku nyesel banget, Kak. Kebohongan mau sehebat apa pun pasti nggak akan bertahan lama. Bagaimana pun, kan, satu kebohongan akan berusaha menutupi kebohongan sebelumnya, dan pada akhirnya kita akan tetap tertangkap karenanya. Itu udah konsekuensi mutlak yang akan terjadi, cepat atau lambat!" Suaraku lemah melirihkan penyesalan.
"Sama halnya sekarang, Bi. Kita sama sekali belum terlambat untuk mengakui ke orangtua kamu. Aku nggak bisa terus berpihak pada kepura-puraan, kita bisa ngobrolin baik-baik rencana pernikahan kita beberapa bulan kedepan—"
"Jangan dulu, Kak. Aku beneran nggak siap liat Ayah dan Umi tahu kita punya perjanjian yang menghancurkan perasaan mereka. Pun aku pernah bilang ke Kakak kan, aku nggak minta Kak Afif ikut pura-pura, aku akan tetap welcome kok kalau Kakak memperlakukan aku seperti apa pun yang Kakak kehendaki, tapi dengan syarat aku nggak akan tanggung jawab perasaan Kakak pada akhirnya,"
KAMU SEDANG MEMBACA
WEDDING AGREEMENT Putus atau Terus (End)
SpiritualRomance-a bit spiritual. Memilih menikah di usia 17 tahun mungkin menjadi putusan berat yang harus dijalani Sabilah. Impiannya menjadi seorang mahasiswa harus ditundanya meladeni Afif yang berusia sepuluh tahun di atasnya. Di hari pertama menapaki r...