ESOK paginya tiba, tidak biasanya Kak Afif memilih duduk menyeruput secangkir kopinya ketimbang berangkat ke kantor. Jelas aku bingung, apa seorang CEO boleh mengambil cuti sehari untuk meminum kopinya tanpa niat membantu pekerjaan apa pun di rumah?
Kupikir hanya Pak Bondan yang suka bolos mengajarkan ilmu matematikanya untuk sekadar duduk merokok di kantin sekolah, ternyata pria satu ini juga sama. Dia lebih memilih santai dengan kopi dan lembaran korannya ketimbang ikut bertukar ide di ruangan rapat.
Dapur, mushollah, ruang tamu, sampai kolam semuanya sudah beres kubersihkan, namun sedikit pun dia belum juga bergerak dari tempatnya. Membuatku penasaran saja, apa lagi yang dia rencanakan dengan menitip tugasnya pada Kak Ann.
"Kak Afif masih lama baca korannya? Ini udah jam sembilan loh, entar telat ke kantor lagi," tegurku berusaha untuk tidak mengguruinya, meski sudah jelas-jelas telatnya sudah agak parah. Setahuku Umi tidak pernah menegur Ayah dengan nada yang kasar lagi menyindir, dan statusku tidak ada bedanya dengan Umi sekarang.
Kami sama-sama seorang istri dari seseorang.
"Saya mau ketemu Mama hari ini, jadi nggak masuk kantor dulu," katanya di balik bacaan koran.
"Emang nggak bisa ya jenguk Mama pulang dari kantor? Kan biar kerjaan kita sama-sama selesai, baru kita bareng-bareng ke sana," kataku juga, berikut dia yang jadi menurunkan paksa korannya dari cengkeraman mata, lalu berbalik menghadap kepadaku.
"Maunya sih gitu, tapi saya lagi malas ketemu siapa pun. Saya pengen di rumah aja, pengen bertukar cerita sama kamu, sekaligus melanjutkan ta'aruf juga, sebagai anak perempuannya Mama ... bukan dalam kurung waktu setahun aja, tapi untuk selamanya," ucapnya tiba-tiba membekukan setiap balasan dari apa yang kudengarkan.
Apa katanya?
"Saya pernah dengar, bahwasanya menikah adalah ta'aruf seumur hidup, seorang suami akan terus menjalani perkenalan dengan istrinya lebih jauh. Tapi, karena perjalanan ini tidak memungkinkan kamu sebagai istri saya seumur hidup, maka saya akan tetap menjalani ta'aruf dengan kamu sebagai adikku saja, anak perempuan dari ibuku yang berharga. Bisa, kan?" sambungnya meminta persetujuanku.
Ya, dia menawariku untuk terus menjadi bagian hidupnya meski bukan lagi sebagai sepasang suami istri.
Terus terang aku tidak akan bisa menolaknya, selain karena aku terlanjur menyayangi mama Kak Afif, aku juga sudah terlanjur dikenal Kak Ann sebagai adik Kak Afif. Terima atau tidak, aku hanya akan rela Kak Ann menjadi penggantiku kelak, aku percaya dia mampu menjaga dengan baik Kak Afif setelah kepergianku. Aku akan mengusahakannya bagaimana pun caranya.
"Kalau gitu, sebagai istri sekaligus calon adik di masa depan kamu nanti, aku harus tahu banyak hal tentang kamu juga!" jawabku bersedia lebih dulu.
"Okey. Kamu mau tahu apa memang?" tanyanya merubah posisi duduknya jadi bersila menghadap ke arahku. Aku balas menghadap kepadanya juga dengan lutut saling bersentuhan.
"Question one. Why you don't let yourself try the ice cream? What's the matter?" tanyaku setelah berpikir keras, seingatku hanya pertanyaan itu yang mendominasi kepenasaranku.
Tentang setiap kejadian yang membuatnya aneh setiap berhadapan dengan es lembut di lidah satu itu.
"Ice cream? Mm, saya nggak tahu kamu akan langsung mengerti ini atau tidak, yang jelas ice cream by my past, was bloody—" Suaranya tiba-tiba terjebak sebentar, lalu kembali dikuatkan untuk memberitahuku sesuatu yang sepertinya tidak menyenangkan di ingatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
WEDDING AGREEMENT Putus atau Terus (End)
SpiritualRomance-a bit spiritual. Memilih menikah di usia 17 tahun mungkin menjadi putusan berat yang harus dijalani Sabilah. Impiannya menjadi seorang mahasiswa harus ditundanya meladeni Afif yang berusia sepuluh tahun di atasnya. Di hari pertama menapaki r...