21. Share The Happiness

1.1K 90 26
                                    

SEMENJAK berbaikan dengan Olive dan Amaira, ruangan kamar ini tiba-tiba saja seperti punya alarm khusus untuk bangun pagi sekali, demi datang ke tempat les lebih awal, hehe.

Untuk kelas intensif, sebenarnya jam masuknya selalu pukul delapan, tapi karena rumah siswanya agak lumayan tidak masuk akal, jadi pelajaran akan benar-benar dimulai di pukul sembilan. Bayangkan saja, Sindi selalu bolak-balik dari Cibinong ke Senayan, ibarat kata dia mesti melangkahi Jupiter dan Mars untuk sampai ke Senayan. Belum lagi kalau macet, Kak Panji biasanya sampai beristigfar banyak-banyak semoga Sindi datang masih utuh sebagai manusia.

Jadi demi Sindi, Kak Panji mempersilakan kita untuk refreshing dulu sebelum masuk di pukul sembilan. Biasanya sih aku, Olive dan Amaira akan memanfaatkan waktu bersama di halaman depan untuk bercanda, atau yang paling seru kita semua termasuk Bunga dan Rama membuat bioskop dadakan di kelas, Sindi juga kadang-kadang ikut nonton kalau datangnya bisa cepat.

Pokoknya kita semua sudah di tahap sedekat itu sekarang.

Untuk hari ini, karena sedang weekend dan tempat les akan mengadakan event berbagi dengan sekitar, kita datangnya jadi boleh kapan saja. Seluruh siswa diminta untuk menyisikan pakaian layak pakainya untuk disumbangkan kepada saudara kita yang lebih membutuhkan di luaran sana.

Aku sudah memaksa Kak Afif untuk membantuku memilih pakaian apa saja yang boleh kusumbang, sampai sepagi ini kita sudah heboh bertengkar di kamarku. Masa iya hampir semua daily wear-ku yang berukuran panjang mau disumbangkan sih?! Memang, aku jarang pakai, tapi kan bajunya bagus dan limited makanya aku sengaja hanya mengoleksinya!

“Kak Afif yang ini jangan disumbangin, please ... ini aku suka banget, Kaaak ...” pintaku memohon di lengannya, dia tetap saja memasukkan dalam keranjang sambil menyanggahku tiada henti.

“Kamu udah seribu kali ngomong suka banget ini, suka banget itu ... kalau semuanya harus nunggu kamu nggak suka baju yang mana, kamu nggak akan nyumbang apa-apa!”

“Tapi kan, Kak, baju yang ini cuteee banget, katanya kamu belinya jauh, masa disumbangin sih?” protesku, membuatku jadi menahan sebentar lengannya menumpuk pakaianku ke dalam keranjang sampingnya.

“Bi, apa sih gunanya kalau kamu menumpuk pakaian? Mumpung masih bagus, masih layak, mending kamu sumbangkan sekarang. Jangan nunggu bajunya ada yang rusak baru mau ngasih ke orang. Itu namanya ... dzolim!” ceramahnya.

“Tapi masa segitu banyaknya sih? Orang nyumbang juga nggak segitunya kali!”

“Kan tadi minta tolong dipilihin. Ya udah aku pilihin mana yang buat kamu, mana yang buat orang lain. Lagipula ya, Bi, mengoleksi banyak pakaian itu nggak baik, hisab-nya akan panjang. Khalifah Umar bin Abdul Aziz aja, pakaiannya nggak lebih dari tiga, padahal dia khalifah. Masa kita yang cuman warga akhir zaman pakaiannya sebuaanyak ini?!”

Suaraku mendadak ciut, aku memang pernah mendengar kisah khalifah tersebut yang punya kebiasaan cuci-pakai pakaiannya setiap hari, tapi kan ... kalau tindakan dia dengan menyumbang sebagian besar pakaianku hendak membuatku terbiasa untuk hidup zuhud (tidak berlebihan mencintai dunia), maka sekarang bukanlah waktu yang tepat.

“Kamu nggak sendiri, Bi, Aku juga sisihkan kok semua pakaianku yang sekiranya jarang dipakai. Jadi nggak apa-apa ya pakaiannya dikasih ke orang-orang di luar sana?” tanyanya memastikanku lagi.

Huft! Aku menyerah.

“Ya udah, itu semuanya juga jarang aku pakai kok. Habisnya gerah kalau long shirt harus dipakai dalam rumah,”

“Memang kan seharusnya kita sumbangnya yang layak, Bi. Maksud layak di sini adalah kita memberikan sesuatu yang memang belum rusak dan merusak. Jadi kalau kita bisa kasih pakaian yang lebih menutup, ya udah kita prioritaskan yang tertutup. Kamu pengen kan punya amal jariyah kalau baju kamu dipakai orang lain untuk menutupi auratnya?” tanyanya mengundang senyumku menjadi terbit sekarang.

WEDDING AGREEMENT Putus atau Terus (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang