Siapa yang tak mengenal Shanindya Violetta?
Gadis berparas menawan dengan kepala berhias rambut ungu terangnya itu, tentu sangat mudah untuk dikenali.
Si gadis berbadan mungil dengan otak dua seringgit yang berhasil masuk ke dalam sebuah persahabata...
tiap orang memiliki caranya tersendiri untuk mengekspresikan diri, benar?
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[DUAPULUH SEMBILAN]
"NIN? Shanin? Lo udah sadar!?"
Samar-samar, sebuah suara bising nampak terdengar di kedua telinga Shanin, walau matanya belum sepenuhnya terbuka, ia sudah dapat meyakini kalau suara itu berasal dari si tampan Raynzal.
"Nin? Lo gak papa? Pusing? Bisa liat gue kan?" Lagi-lagi serbuan pertanyaan kembali menyapa telinga Shanin, pertanyaan yang kali ini datang dari arah Al.
Ditengah rasa pusing yang masih melanda, mata terbuka Shanin berhasil menatap ke enam sosok berwajah khawatir yang kini tengah mengerubunginya.
Menunggu dengan cemas perihal respon yang akan gadis berwajah pucat itu berikan. Meski baru ingin bersuara untuk menjawab, sebuah suara lebih dulu mencegahnya.
"Tuhkan! Gue bilang bawa aja ke rumah sakit!" Richard berseru, menyalahkan sekitar.
Membuat Arkan sempat menggaruk tengkuknya panas sebelum beralih mengeluarkan ponsel dari dalam saku.
"Telfon siapa?" Derren yang semula bungkam bertanya.
Seakan tak sadar dengan apa yang dirinya sendiri ucap, Arkan nampak tak memperhatikan bagaimana ekspresi sekitar saat cowok itu masih sibuk berkutat dengan panggilan.
Membuat Shanin yang untungnya sudah tersadar total, mengambil peran dalam misi pengalihan perhatian ini.
"Shanin dimana?"
Ditemani suara parau, gadis itu berhasil menarik minat para pendengar dalam waktu kurang dari lima detik.
Bahkan Arkan yang semula sibukpun beralih mematikan panggilan agar dapat memeriksa kondisi Shanin secara fokus.
"UKS." Derren menjawab. "Tadi lo pingsan di koridor." Tambah Raynzal.
"Masih pusing?" Ikut Richard sembari mengusap lembut rambut tergerai Shanin.
Mendapati respon berupa gelengan kecil, gadis yang semula terbaring diranjang UKS itu beranjak untuk duduk bersandar pada bantal yang disenderkan dipunggung ranjang.
"Tadi kenapa bisa pingsan?" Kali ini, gantian Arkan yang bersuara sembari mengusap lembut punggung tangan gadis itu.
Pemandangan yang tak lepas dari sorot tajam Arga. Padahal hanya elusan tangan biasa, namun mengapa rasa kesalnya sampai separah ini. Arga juga tak paham.