Siapa yang tak mengenal Shanindya Violetta?
Gadis berparas menawan dengan kepala berhias rambut ungu terangnya itu, tentu sangat mudah untuk dikenali.
Si gadis berbadan mungil dengan otak dua seringgit yang berhasil masuk ke dalam sebuah persahabata...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[LIMAPULUH SATU]
ARKAN menutup pintu mobilnya dengan diikuti hembusan napas panjang. Melupakan jika hari ini adalah hari peresmian hubungan Ibunya dengan sang ayah tiri, garis miring Ayah dari Aksa. Sekali lagi, Ayah Aksa.
Melupakan hal penting tersebut disaat ia sudah berhasil menghindari drama keluarganya setidaknya selama kurang lebih satu minggu. Perjalanan panjang yang membantu dirinya menenangkan diri.
Namun lagi-lagi, disinilah ia berakhir. Termenung disebelah mobil birunya, memandangi keramaian yang terlihat dari siluet jendela rumahnya. Bahkan beberapa kendaraan sudah terparkir di halaman mewah miliknya.
Sudah berniat untuk enyah dari sana dan pergi menuju apartmentnya, kalau saja ia tak melupakan obatnya yang dengan bodohnya dirinya letakkan di dalam kamar.
Dengan penuh rasa keterpaksaan, Arkan berjalan memasuki rumahnya. Tentu, tidak ada niatan untuk masuk melalui pintu utama dan berbasa-basi lebih jauh. Hanya ingin mengambil obatnya dan pergi dari sana.
Sesampainya di halaman samping, cowok itu sempat menghembuskan napas dengan kepala tertongak. Menatap jendela kamarnya yang ternyata cukup tinggi untuk digapai. Menggeram dengan kedua tangan terkepal, memikirkan cara terbaik untuk masuk ke dalam sana dengan kondisi tubuh yang lengket dan kotor tentu bukanlah hal yang mudah.
"Apa-apaan ini, Aksa?"
Baru saja berniat untuk melemparkan tas ranselnya ke dalam jendela kamar yang syukurnya terbuka, sebuah suara cukup keras mengurungkan niat Arkan untuk melakukan aksinya lebih jauh. Apalagi saat nama tak asing itu tersebut.
Memilih berjalan untuk mengintip dari balik tembok penghalang, mendapati Aksa dan tak lain dan tak bukan bersama sang Ayah tengah berbincang dengan serius. Terlalu serius sampai kedua mata Ayah Aksa hampir saja keluar.
"Sejak kapan kamu merokok?! Belum cukup balai rehabilitasi?!"
Dari balik puntung rokok yang Aksa pegang, Arkan dapat melihat jelas kalau tangan cowok itu bergetar. Entah karna dinginnya malam, atau karna ketakutan, Arkan juga tak tahu.
"JAWAB!"
Dan kali ini, ada pergerakan pada hati Arkan untuk membantu. Atau karna ia gila, dirinya juga bingung. Karna setelah ia mendengar bentakkan itu, tanpa sadar kaki Arkan melangkah maju. Keluar dari tempat persembunyian dengan menampilkan senyuman.
"Halo, Om?" Sapa cowok itu ramah, mendapati respon berupa kernyitan dahi dari arah Aksa dan Ayahnya secara bersamaan atas kehadiran sosok yang tentu tak disangka.