54• Lebih Baik Mundur

751 72 42
                                        


Sometimes, the right things feels like the worst things.

Sometimes, the right things feels like the worst things

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


[LIMAPULUH EMPAT]

SUARA mesin mobil Bayerische Motoren Werke yang Arkan kendarai ditengah heningnya malam perlahan berhenti tepat saat pagar rumah Shanin kini sudah berada di hadapan.

Membuat pemilik mobil berwarna Partimao blue itu perlahan menggeser posisi duduknya untuk kemudian menatap gadis disebelah. Mendapati Shaninnya yang kini tengah tertidur lelap dengan balutan jaket hitam yang tadi sempat ia beri untuk tubuh mungil itu.

Tersenyum kecil, memperhatikan deru napas teratur gadis dengan wajah teduh yang sialnya bisa membuat Arkan berjam-jam anteng hanya karna memandangi. Tak rela untuk membangunkan, sudah berniat untuk ikut memejamkan matanya tatkala kaki panjang cowok itu tak sengaja menekan klakson mobil pada kemudi.

Menggigit bibirnya kuat saat tubuh disebelahnya itu kini menggeliat dengan kedua matanya yang sedikit terbuka, menyesalkan kecerobohan dirinya sendiri saat membuat Shaninnya terbangun.

"Maaf, kepencet." Pelan Arkan sembari mengusap wajah lelah shanin, berusaha membantu gadis itu untuk menegakkan sandaran posisi duduknya.

"Udah sampe?" Tanyanya dengan suara serak, sempat mengusap matanya sebentar sebelum pandangannya beralih ke luar, "Kok Arkan gak bangunin Shanin?"

"Mana tega? Ngantuk banget gitu kayaknya."
"Ya tapikan tetep aja, Arkan harusnya—"

Shanin mengatup bibirnya sempurna saat dengan entengnya, Arkan malah menghentikan perotesan dirinya dengan sebuah kecupan singkat pada puncak kepala Shanin. Dihadiahi seperti itu justru membuat Shanin mematung, tak lagi bersuara. Hal yang malah Arkan respon dengan cengiran gemasnya.

Tidak bisa menahan rasa gemas akan kebawelan gadis mungil itu, padahal beberapa saat lalu telinganya merasakan kedamaian. Tapi saat baru membuka mata, celotehan panjang itu berhasil untuk menarik Arkan mendekat, beruntung katanya, karna ia hanya mengecup puncak kepala Shanin, bukan bibir mengkilap gadis itu yang tentu akan membuat Arga membunuhnya.

"Gak mau turun? Mau aku bawa pulang aja?" Goda Arkan sekali lagi, bukan tanpa alasan sebenernya ia mengisengi gadis itu, Arkan hanya mencoba menghilangkan pikiran Shanin yang sudah ia pastikan masih tertuju dengan kejadian tadi sore. Karna sepanjang perjalanan menuju rumahnya, tepatnya saat gadis itu sebelum terlelap, kepala Shanin hanya menoleh ke arah jendela.

Sedangkan candaan itu, hanya gadisnya balas dengan sebuah senyuman kecil sebelum ia melangkahkan kaki keluar. Disusul Arkan yang tentu saja mengekor, tidak ada niatan untuk segera beranjak dari sana. Setidaknya, ia ingin melihat Shanin masuk dengan selamat sampai ke dalam rumah.

Satu langkah, dua langkah, kaki Shanin berhenti dengan badan yang berbalik, menatap Arkan bingung, "Kok ikut turun? Katanya mau langsung samperin yang lain?"

Shanin's Diary II (Open Pre Order)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang