Siapa yang tak mengenal Shanindya Violetta?
Gadis berparas menawan dengan kepala berhias rambut ungu terangnya itu, tentu sangat mudah untuk dikenali.
Si gadis berbadan mungil dengan otak dua seringgit yang berhasil masuk ke dalam sebuah persahabata...
Ada hal yang tidak bisa disembunyikan. Kebohongan, dan bayangan.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[EMPATPULUH DUA]
SHANIN mengerjapkan mata beberapa kali saat dirinya terbangun dari biusan obat, berteman dengan kegelapan memanglah keahliannya dahulu. Tidak dengan sekarang, hadirnya Arga dan semua orang disisinya berhasil membawa Shanin naik dari lautan terdalam menuju permukaan.
Meninggalkan kegelapan yang sempat menyapanya dalam beberapa tahun terakhir. Jadi kala maniknya kembali disambut dengan hal itu, tak heran jika dirinya tak mampu untuk berkutik.
Dengan napas yang tercekat, Shanin mencoba untuk meraba sekitar. Memastikan kalau ia masih berada dirumah sakit mampu membuatnya sedikit saja bernapas lega. Mulai mencari keberadaan ponselnya yang ia yakini dibawah bantal. Meski nyatanya ia tak dapat menemukannya bahkan setalah dirinya melemparkan bantal miliknya asal.
"Arga?" Shanin memanggil, ini terlalu hening, sangat hening hingga membuat bulu kuduknya berdiri.
"Arkan?" sekali lagi, ia mencoba peruntungan. Barangkali ada setidaknya satu orang yang tengah tertidur disofa.
Dan berhasil, panggilnya berhasil membuat seseorang mendekat. Meski tak tahu siapa atau apa, Shanin tersenyum dibuatnya, "Arkan? Raynzal? Bisa tolong nyalain lampu?"
"Bisa, lo napas lega kayak gitu?" Seseorang bersuara dengan berat, berjalan mendekat ke arah Shanin dengan langkah sepatu, "Masih bisa lo senyum dan ketawa disaat gue hancur, Nin?"
Tubuh Shanin mematung, bukan, bukan karna ia takut, tapi karna suara yang ia dengar adalah suara seseorang yang sangat dirinya kenal.
"Gue kesakitan, Nin. Gue kesepian."
Itu suara Steve, dan Shanin tidak sedang berhalusinasi dengan hal itu. Meski penglihatannya tengah samar, telinga sangat jelas mendengar suara itu. Deru napasnya, detak jantungnya, Shanin dapat dengan jelas mendengarnya.
"Steve?" dalam kegelapan, iapun berucap dengan napas tercekat, "Steve disini?"
Tak ada jawaban dalam beberapa saat, membuat Shanin frustasi dibuatnya, "Shanin kangen sama Steve."
"Kangen?" Sambar sosok itu hampa, "Lo yang udah buat gue gini, lo lupa?"
"Enggak, Shanin gak akan pernah lupain itu," bulir air mata Shanin hampir tumpah, "Shanin inget semua masa lalu yang udah kita lewatin bareng-bareng. Shanin kangen masa-masa itu, Shanin kangen sama Steve."
"Dan lo masih inget, kenapa gue bisa sampe bunuh diri?" tambahnya dengan suara parau, "Itu semua karna lo udah ngerenggut semua yang gue punya! Lo ambil Arga disaat dia adalah satu-satunya orang yang gue percaya. Lo ambil semua waktunya sendiri tanpa nyisain sedikitpun buat gue!"
"Dan untuk itu Shanin minta maaf," kali ini, tak ada lagi yang bisa ia katakan selain mengakuinya, "Shanin minta maaf karna udah bikin Steve nyimpen semua beban itu sendirian. Shanin minta maaf udah bikin Steve ngelakuin hal itu, Shanin minta maaf."