Sampai saat ini, Chika berusaha untuk mempercayai Zahran sepenuhnya. Mana mungkin Zahran akan diterima sebagai dosen jika punya latar belakang kriminal? Tetapi, kasus pembunuhan?
.
Satu minggu belakangan, Chika berusaha mencari tahu tentang semuanya. Tentang latar belakang Zahran, tentang rumah sakit itu, dan tentang rumor yang beredar mengenai Zahran. Namun, Chika tidak bisa menemukan petunjuk apapun.
.
Chika juga sempat meminta pendapat dari mamanya. Sang mama menilai jika Zahran adalah pria yang baik. Namun beliau berpesan agar Chika tetap berhati-hati.
.
Dalam kasus ini, hanya ada dua kemungkinan. Rumor itu tidak benar atau rumah sakit terlalu pandai menutup kasus.
.
"Hey!"
.
Chika sedikit terkejut saat ada seseorang yang menepuk bahunya.
.
"Ini tempat umum, jangan kebanyakan melamun. Bisa jadi target kejahatan kamu nanti."
.
Chika mengangguk kemudian membantu menarik salah satu koper yang ada di genggaman Zahran. Jika kalian penasaran, Zahran baru saja pulang dari Surabaya untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan disana.
.
"Mamaaa!"
.
Zahran lantas menoleh ke sumber suara. Disana, pria itu melihat seorang anak berusia tiga tahunan menangis dengan begitu kuat.
.
"Astaga dek, maaf."
.
"Kamu gak apa-apa? Kaki kamu terluka."
.
Suara Chika terdengar sedikit bergetar. Sepertinya, Chika baru saja melindas kaki anak itu dengan koper berat milik Zahran.
.
"Kita ke rumah sakit ya? Mama kamu dimana? Nanti kakak yang tanggung jawab."
.
Bukannya menjawab, tangis anak itu malah semakin menjadi dan sukses menarik perhatian seisi bandara.
.
"Gak usah panik." Ucap Zahran sembari mengusap punggung Chika.
.
"Ini cuma luka kecil. Sekarang kamu lari ke petugas bandara, minta antiseptik, perban, sama papan kayu kalau ada. Kalau enggak, kardus bekas juga gak masalah."
.
"Kardus bekas?"
.
"Tulang anak umur segini masih rawan sekali. Kita harus antisipasi dulu meskipun belum terdeteksi ada kerusakan tulang."
.
Tanpa banyak berpikir, Chika kemudian menuruti ucapan Zahran sambil berkaca-kaca.
.
"Terlepas dari siapapun kamu dan masalah apapun yang kamu hadapi, kamu tetap seorang dokter, Mas." Batin Chika.
.
Setelah itu, Zahran langsung mengobati luka anak itu dengan telaten dan membelit kakinya dengan kardus disisi atas dan bawah.
.
"Nah, beres." Ucapnya sambil merapikan perkakas kesehatan.
.
"Lukanya sudah saya obati, Bu. Dua-tiga hari lagi juga kering. Untuk tulangnya, sepertinya tidak ada kerusakan serius. Tapi, ibu harus periksakan ke rumah sakit lagi."
.
Zahran kemudian mengeluarkan selembar kartu nama miliknya dan menyerahkannya kepada ibu dari anak tersebut.
.
"Kalau ada masalah sama tulangnya, ibu bisa hubungi saya. Saya akan beretanggung jawab penuh sampai anak ibu benar-benar sembuh. Maaf atas kecerobohan kami Bu."
.
Tak lama setelah itu, Chika juga ikut meminta maaf. Chika menghela napasnya lega saat Ibu tersebut mau menyambut baik permintaan maafnya.
.
"Makasih, Mas." Gumam Chika pelan. Mungkin Zahran tidak mendengarnya.
.
Saat ini, keduanya memilih untuk tinggal sejenak di bandara lantaran cuaca diluar sedang tidak bersahabat.
.
"Gimana satu minggu di Surabaya, Pak?"
.
"Pak lagi." Cibir Zahran kesal. "Tapi terserah kamu deh."
.
"Jadi gimana?" Tanyanya lagi.
.
"Ya, sebagus apapun Surabaya tetap terasa sama seperti Jakarta. Apalagi kalau kita kesana buat kerja."
.
Chika bisa melihat pria itu terlihat lelah. Bahkan, pria itu sudah memejamkan matanya dengan posisi kepala yang menyender di bahu Chika.
.
"Pak, Chika boleh tanya sesuatu?"
.
Chika mengangguk dan enggan bersuara.
.
"Jadi dosen itu impian terbesar bapak ya?"
.
Zahran mendongak, dan bola mata mereka terpaksa bertemu.
.
"Kenapa kamu tanya seperti itu?"
.
"Enggak, saya cuma merasa aura bapak lebih terpancar saat mengobati orang sakit daripada saat mengajar mahasiswa. Bapak luar biasa keren tadi. Saya suka."
.
Seulas senyum tersungging dari bibir Zahran.
.
"Andai saja suatu hari nanti jodoh Chika seorang dokter, Pak. Pasti membanggakan sekali."
.
"Memangnya, dosen gak masuk kriteria?"
.
Chika menggeleng. "Apalagi kalau model dosennya begini."
.
"Mau setinggi apapun kamu berangan-angan, kalau Tuhan sudah menggariskan kamu untuk saya, kamu bisa apa?"
.
Mendengar hal tersebut, Chika lantas mencibir.
.
"Lah kok situ maksa?"
.
Pertanyaan Chika sukses membuat Zahran tertawa ringan. Dari sini Chika semakin ragu bahwa Zahran pernah terlibat kasus pembunuhan.
.
"Kamu sendiri, kenapa tertarik ambil jurusan kedokteran? Memangnya, jadi dokter itu impian terbesar kamu?"
.
"Iya dong, Pak!" Jawab Chika antusias.
.
"Jadi dokter itu cita-cita sejuta umat, Pak. Dulu waktu bapak kecil, bapak pasti pernah bercita-cita menjadi dokter kan? Meskipun cita-cita kita selalu berubah-ubah?"
.
Zahran mengangguk mengiyakan.
.
"Tapi, kenapa kamu masih konsisten sama cita-cita kamu?"
.
"Karena dedikasi dan pengabdian dokter itu besar sekali, Pak. Dokter bukan sekedar penyembuh pasien. Tetapi, dokter juga penyembuh orang-orang disekelilingnya."
.
Rasa kagum Zahran seketika naik.
.
"Well, jawaban kamu menarik. Tapi, apa kamu yakin kamu bisa mengemban tanggung jawab dokter dengan baik?"
.
Apa sekarang, Zahran sedang menguji kemampuannya?
.
"Kamu bisa lihat di kejadian tadi. Kamu kelihatan panik ketika melihat anak itu terluka. Padahal, lukanya tidak terlalu serius."
.
"Bagaimana jika suatu hari nanti, kamu dituntut untuk mengobati pasien gagal jantung? Atau mungkin, pasien kecelakaan beruntun yang mana jumlahnya lebih dari seribu orang?"
.
Chika menelan ludahnya. Mengapa Zahran seakan mengintimidasinya?
.
"Itu beda kasus, Pak. Kalau anak tadi, kan saya yang mencelakainya. Jadi wajar lah kalau saya panik duluan." Chika berusaha membela diri.
.
"Lagian, bapak kenapa sih tiba-tiba jadi alot begini? Memangnya, pekerjaan dokter itu semenakutkan itu ya? I mean, ekspektasi bapak terlalu tinggi. Kecuali, bapak pernah benar-benar terjun di dunia kedokteran."
.
Dada Zahran bergemuruh saat Chika tiba-tiba menggenggam kedua tangannya dan menatapnya lekat.
.
"Just tell me bahwa saya tidak salah mengenali orang. Bukan begitu Dokter Zahran?"
.
Zahran bungkam untuk sesaat.
.
"Jangan takut untuk jujur sama Chika, Pak. Disini, Chika bukan orang lain kan? Chika kekasih bapak bukan?"
.
Bola mata Zahran membulat sempurna.
.
"Ke-kekasih?" Tanyanya gugup.
.
"Ya, Chika akan bersedia jadi kekasih bapak. Asal, bapak mau jujur sama Chika tentang semuanya, tanpa terkecuali."
.ditunggu cerita masa hidupnya ya, Pak!
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Jatuh Hati
Romance"Beri aku satu alasan. Kenapa? Kenapa kamu masih mau bertahan setelah apa yang terjadi diantara kita?" -Chika . "Aku cuma mau kamu percaya bahwa aku bukan pembunuh mama kamu." -Zahran