20

629 76 6
                                    

Tepat dua minggu setelah kejadian di rumah sakit waktu itu. Hari ini, Chika berencana mendatangi acara ulang tahun fakultas kedokteran. Meskipun, Chika tidak yakin akan kesiapannya jika dia harus kembali bertemu dengan Zahran.

"Chika? Wah, gak nyangka ya kita bisa ketemu lagi di sini."

Chika yang baru saja keluar dari mobil sedikit terkejut dengan kehadiran Gito di sini.

"Lho, kak Gito? Ada keperluan apa di sini?"

"Hari ini aku ditunjuk pihak rumah sakit untuk jadi salah satu pembicara di acara seminar kampus ini. Jangan bilang, kamu mahasiswi di sini?"

Gito terkekeh saat melihat Chika mengangguk.

"Well, untuk ukuran mahasiswi secantik kamu, kamu cukup bodoh karena mau dipacari sama Zahran."

Kali ini Chika yang justru tertawa. Selama di rumah sakit, Chika tidak terlalu banyak berbicara dengan Gito. Chika tidak menyangka, Gito punya pribadi yang cukup asik.

"Jangan keras-keras, kak. Repot nanti kalau ada yang dengar."

"Oh, backstreet?" Bisik Gito dengan ekspresi meledek.

"Kak Gito, ih!"

Chika menghela napas pelan saat mendapati beberapa orang di sekitarnya menatap dengan tatapan tidak suka. Ini pasti karena kedekatannya dengan Gito. Tidak bisa dipungkiri, Gito terlihat sangat memikat meskipun hanya menggunakan kaos putih dengan luaran jaket jeans berwarna hitam dan juga celana jeans hitam.

"Oke-oke, aku cuma bercanda." Ucap Gito sambil menahan diri agar tidak terus menerus tertawa.

Gito kembali terkekeh saat dirinya menangkap maksud pembicaraan Chika.

"Jadi, masalah kalian belum selesai?"

"Menurut kakak, apa masalah seperti akan cepat selesai?"

"Tentu, asal kamu tidak terus menghindar. Kalau kamu tidak mau memberi Zahran kesempatan untuk bicara, jangan salahkan dia kalau dia akan kembali lagi pada Fiony."

"Kamu harus ingat, posisi kamu dengan Fiony sama-sama kuat di hati Zahran. Bedanya, kamu masih punya hak dan dia tidak."

Gito menepuk kedua bahu Chika untuk memberinya keyakinan.

"Kalau kamu percaya Zahran mencintai kamu, jangan tinggalkan dia saat dia goyah. Karena jika kamu melakukannya, bukan hanya masalahnya yang selesai, hubungan kalian juga."


Semakin siang, suasana kampus juga semakin ramai. Kebanyakan mahasiswi menghabiskan waktu untuk berkeliling bazar, menonton live music, atau sekedar berselfie bersama.

Namun sejak pagi tadi, Chika sama sekali tidak bisa menikmati acaranya. Pikirannya tertuju pada perkataan Gito tadi pagi di parkiran. Chika senang, Gito berada di pihaknya. Tetapi, sampai detik ini, ingatan-ingatan tentang bagaimana Zahran menyakitinya mmasih membuat dadanya sesak.

"Cantik-cantik gini sendirian aja. Mau aku temani, nona?"

Bola mata Chika hampir saja melompat saat mendapati Zahran tengah berdiri di hadapannya.

"Ba-bapak?"

"Jangan panggil aku seperti itu. Kamu tidak lihat hari ini penampilanku seperti apa?"

Chika mengamati penampilan Zahran dengan detak jantung yang mulai tak beraturan. Demi Tuhan, Zahran sangat tampan dengan setelan non-formalnya. Warna hoodie dan sneakers yang senada yaitu warna biru, celana jeans robek, serta kacamata yang identik dengan dirinya benar-benar membuat Chika sesak napas. Dan lagi, aku-kamu? Apa-apaan ini?

"Jadi, bapak berpenampilan seperti ini agar saya mau memanggil anda 'Mas Zahran' lagi?" Chika mulai mencibir.

"Tidak juga, kamu jangan terlalu besar kepala." Jawabnya enteng.

Chika mendelik, kemudian berjalan meninggalkan Zahran begitu saja. Namun tak berselang lama, pria itu sudah berjalan sejajar dengannya.

"APA?!" Bentak Chika pada Zahran.

"Kamu gak balas pesan-pesanku, gak angkat teleponku, habis kuota atau bagaimana? Perasaan di pertemuan terakhir kita, kita baik-baik saja. Saya masih mengantar kamu pulang dan bahkan saya sempat menciu-"

Dengan gerakan kilat, Chika langsung membukam mulut Zahran dengan telapak tangannya. Namun beberapa detik kemudian, Chika sadar lalu menyingkirkan tangannya dari mulut Zahran.

"Ekhem." Chika berdehem untuk membangkitkan rasa percaya dirinya.

"Sepenting apa pesan itu sampai saya harus repot-repot meluangkan waktu untuk menjawabnya?"

"Well, selama ini saya tidak pernah menuntut pasangan saya apa-apa. Tetapi, wanita mana yang sanggup bertahan pada pria yang masih memiliki orang lain dihatinya?"

"Jadi, jangan bermimpi anda akan jadi prioritas saya selagi anda belum bisa memprioritaskan saya."


Berhubung mereka tidak bisa menyelesaikan masalah itu di kampus, keduanya sepakat untuk pergi dan mencari tempat yang menurut mereka nyaman untuk berdiskusi.

"Apa ini?" Chika menatap bingung amplop putih yang tergeletak di atas meja.

"Surat permintaan dari rumah sakit untuk kembali bekerja di sana."

Chika tertawa miris. Jadi, seberapa banyak yang tidak dia ketahui selama dua minggu terakhir?

"Bagus dong. Itu kan yang bapak mau? Kita lihat saja berapa lama lagi bapak bisa bertahan menjadi dosen."

KREK

Chika terkejut saat Zahran dengan mudahnya merobek amplop tersebut.

"Jika ketakutan kamu adalah tentang Fiony, maka aku pastikan surat ini tidak membawa pengaruh apa-apa."

"Aku akui, aku salah karena perlakuanku kepada Fiony sudah kelewat batas."

"Di pertemuan pertama kami sejak kami berpisah begitu lama, emosiku sedikit tergugah. Aku sempat hilang akal dan merasa kamu akan baik-baik saja ketika aku memeluk dan menciumnya."

"Sa-saya baik-baik saja."

Zahran tersenyum ketika mendengar suara Chika yang sudah mulai bergetar.

"Tetapi, kalau kamu meminta untuk aku melupakan Fiony begitu saja aku tidak bisa."

"Kalau tidak bisa, untuk apa lagi bapak menjelaskannya pada saya? Saya rasa, itu tidak ada gunanya."

Chika menyeka air matanya yang jatuh begitu saja. Gadis itu sedikit menyesal karena mendengarkan nasihat Gito.

"Kamu masih tanya untuk apa? Karena aku mencintai kamu, Chika!"

"Cinta? Lalu bagaimana dengan Fiony? Apa bapak juga menyebutnya sebagai cinta?" Chika mulai mengasihani dirinya sendiri.

"Tidak!" Ucapnya yakin.

"Mungkin Tuhan punya alasan tersendiri dibalik pertemuan kami. Tuhan mau aku menjaganya barangkali? Meski begitu, aku tidak akan bisa kembali mencintainya lagi, apapun alasannya."

Zahran meraih tangan Chika, meggenggamnya dengan penuh keyakinan.

"Bagaimana caranya saya bisa mempercayainya?" Ujar Chika lemah.

"Menikahlah denganku, dan kita akan sama-sama bersumpah di hadapan Tuhan bahwa kita hanya memiliki satu cinta."

Chika diam untuk beberapa saat. Jantungnya serasa dilempar dari ketinggian tujuh ribu kaki.


~~~


jadi, apakah mereka akan menikah lalu ini tamat? ditunggu saja bagaimana selanjutnya.
Zahran udah aku-kamu tapi Chikanya masih saya-bapak.





gak sabar buat request hour padahal masih lama.......

Tentang Jatuh HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang