Sekali lagi, gadis mungil itu menggores kulitnya yang tak punya salah padanya. Meringis pelan, namun masih tetap dilanjutkannya. Ia terkulai lemas di atas kasurnya, menaruh tangannya di atas perut, menahan darah supaya tak merembes ke atas sprei. Kepalanya terasa diputar-putar kemudian dihujam oleh ribuan jarum.
Dia tidak kuat.
Ia masih ingat dengan jelas pilihan yang dia ambil saat kedua orang tuanya sibuk akan lembaran kertas di atas meja. Tinggal menulis nama dan tanggal maka semuanya akan beres, tapi dia hanya minta satu atas perpisahan kedua insan yang sudah membiarkannya tumbuh selama dua belas tahun.
"Hima tak masalah jika kalian berpisah, itu lebih baik dari pada saling menyakiti hati masing-masing, hanya saja, kepada siapa Hima akan pulang? Ayah pasti sibuk dengan kerjaan yang akan terus pindah-pindah. Ibu pasti akan sibuk dengan acara fashion yang akan datang. Dan ... kakak masih belum sadar dari komanya." Gadis bernama Hima itu terdiam sejenak. Ia yang sejak tadi merunduk kini menatap kedua orang tuanya yang dalam hitungan menit akan berpisah. "Hima akan tetap menjadi rumah untuk kak Neron. Karena itu, terserah pada kalian, tapi bantu Hima untuk biaya pengobatan kakak." Hima tersenyum kecut.
Pria paruh baya itu meletakkan pena, bungkus rokok dan mancis di meja. Ia berdehem pelan, dan melipat tangannya di depan dada. "Ayah tak masalah, Hima. Tapi kamu anak perempuan, harus ada yang menjagamu."
Hima tertahan, masih berusaha menjaga senyum dari bibirnya yang kecil itu. Hima menaikkan kedua lengan bajunya. "Ayah, Hima bisa menjaga diri Hima sendiri." Ia menunjukkan guratan luka yang lebar di tangannya, ada juga warna kulit yang sudah berubah dari asalnya.
"Kakakmu itu dia tidak akan bangun."
Hima mengalihkan pandangannya, menatap Ibu tirinya dengan miris. "Hima tidak akan menyalahkan ibu atas hari itu. Tapi, kakak sedang berjuang dalam alam sadarnya, jadi ibu tak pantas mengatakannya." Hima berusaha menjaga sikapnya, tak ingin menyesal dikemudian hari.
Ibu Hima menghela napas pelan, ia meraih pena dan mengisi surat yang ada di hadapannya. Setelah selesai, ia mengoper kertas itu dan membiarkan suaminya untuk mengisi surat tadi. Kini mereka sudah menjadi sepasang mantan suami istri.
"Ibu akan membuatkan rekening untukmu, dan mentransfer setidaknya sebulan sekali untuk kebutuhan kamu hidup." Wanita paruh baya itu kembali berbicara
"Ayah juga begitu dan Ayah akan mencari sewa apartemen kamu, dan membayarnya tiap bulan. Jadi kamu bisa tenang dan membayar biaya rumah sakit untuk Neron."
Hima tak membalas, ia hanya tersenyum kemudian meninggalkan keduanya di ruang tengah.
***
Hima membersihkan darah kering di tangannya. Kantong matanya semakin menjadi-jadi, dan rambutnya semakin panjang. Ia melenguh pelan menatap dirinya. Perlahan ia membalut tangannya dengan perban. Ia memasang seragamnya dan bersiap menuju sekolah.
Benar, ia masih murid SMA tapi seolah-olah sedang menanggung beban seluruh kehidupan di dunianya.
"Hima, nanti pas ekskul-"
"Ah, maaf Kira, saya izin hari ini." Hima tersenyum lebar saat teman dekatnya menghampiri dirinya.
Gadis yang akrab dipanggil Kira itu mendengus kesal. Ia tidak tahu banyak tentang sobatnya itu, tapi saat ia merasa dekat, di saat yang sama ia merasa sangat jauh. Dia ingin tahu lebih, tapi ia tidak ingin melanggar sesuatu yang disebut privasi.
"Hima, kalau ada yang mau diceritakan, cerita aja!" Kira berseru kencang.
Hima tertawa ringan. "Saya tidak apa-apa, Kira. Selain itu, tugas matematika udah siap?" Hima menjulurkan buku latihannya, tersenyum simpul menatap temannya.
Kira berseru lagi. "Belum! Pinjam, ya! Nanti gua traktir jajan!" Selesai mengatakan itu, Kira melesat cepat menuju kursinya dan mulai menyelesaikan pekerjaan rumah.
Akhirnya, tenang, gumam Hima kecil.
Gadis itu, dia ingin ketenangan tapi ia tidak ingin sendirian. Sisi tangannya mulai terasa ngilu kembali, harus segera diobati dengan benar, tapi selama ini ia tidak pernah melakukannya. Ia tidak mau.
Saya harus mengunjungi kakak nanti. Apa saya menginap saja? Sekali-sekali izin sekolah juga tak masalah, pikir Hima.
Himalaya Anggraini, gadis kecil yang bahagia saat masih duduk di bangku dasar. Ia tidak pernah berpikir bahwa orang tuanya akan menjadi lebih buruk dalam berkomunikasi. Ayahnya sering keluar kota demi pekerjaan. Ibunya sering tak pulang karena lembur di studio fashion. Dia lebih sering diam di rumah bersama kakaknya.
Pelajaran dimulai, dan Hima mulai fokus dengan apa yang sedang diterangkan. Dalam hatinya dia sangat gelisah, ingin ke rumah sakit untuk menemui kakaknya yang sedang berada di alam bawah sadar. Hati kecilnya terluka berat.
"Kenapa bu Mika bisa sadar kalau gua nyontek punya lu—ah!"
Kalimat Kira terhenti saat Hima menarik bajunya supaya tak menabrak pemuda tinggi yang ada di hadapannya.
"Ah, maaf, kak," ujar Kira kaget.
Hima memperhatikan dasi pemuda yang hampir menabrak Kira. Ada garis tiga di bawahnya, ia menandakan itu, berarti benar kakak kelas. Hima sudah berjaga-jaga, takut akan dimaki lagi oleh kakak kelas, mengingat ia pernah mengalaminya.
"Ah, kakak nggak apa-apa, kan?" Kira menambah ucapannya.
"Kagak, kok, gua juga minta maaf. Maaf ye, Dek." Pemuda itu menegakkan kepalanya, menatap dua gadis juniornya yang sedikit ketakutan. Dia paham. "Santai aje, gua gak bakal maki-maki, kok, soalnya emang gua yang salah. Duluan, ye." Pemuda itu melesat cepat menaiki anak tangga.
Hima menghela napas lega. Kira menoleh, menatap Hima bingung. Kaki mereka mulai bergerak ke kantin, mencari makanan ringan yang bisa dimakan selagi berbicara santai. "Itu kak Orion Catarino, cukup terkenal menurut gua, jadi ya heran kenapa lu gak kenal dia."
Hima mengangguk pelan. Ia tidak berminat mengenal orang lain lebih jauh, tapi ia seperti sudah mengenal orang itu. ingatannya buruk sekali. Terlebih seorang senior yang sempat melakukan perundungan padanya saat dia berada di sekolah lamanya. Hima takut ada yang mengenalnya dan kembali dirundungi. Ia tidak mau itu.
***
Kaki Hima mulai meregangkan sel ototnya. Kepalanya tertahan di atas tangan kakaknya yang sudah tidak bergerak selama lima bulan. Terasa dingin menyentuh pipinya, sesekali kenangan manis ia ingat.
Hima ingat saat kakaknya menolongnya dari para anak-anak nakal yang mengganggunya. Ia juga yang membantu Hima untuk sedikit berani. Dan karena Hima juga, ia harus terbaring di atas kasur selama berbulan-bulan.
Hima terus menyalahkan dirinya sendiri karena itu.
"Kakak, kemarin ayah dan ibu bercerai. Kenapa ya, baru sekarang? Apa mereka berpikir dengan umur Hima yang sudah tujuh belas tahun, Hima bakal tidak memikirkan itu? Kenapa ya, manusia egois, kak?"
Hima terdiam, dia sendiri egois. Ia hanya ingin sebuah perhatian dan sebuah kasih sayang dari kakaknya juga dari keluarganya, tapi ia tidak bisa memberikan hal itu untuk membalasnya. Hima dilanda kesalahan pribadi. Sadar akan apa yang ia lakukan, tapi ia tidak bisa berbuat banyak.
"Kakak, kapan kakak akan bangun?"
Himalaya Anggraini, gadis kecil yang bahagia saat duduk di bangku dasar, untuk pertama kalinya menangis lagi. Air mata yang terasa kosong sejak dulu, kini sudah mulai terisi penuh, sudah siap membanjiri wajah miliknya.
"Hima, rindu kakak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Himalaya And The Broken Band [Tamat]
Teen Fiction[Belum Revisi] Kehidupan itu tidak mudah. Himalaya, gadis muda yang berusaha bangkit atas masalah yang terus menghampiri dirinya. Ia mengemban semua masalah itu sendirian setelah kakaknya mengalami koma. Tapi, semua itu berujung kesedihan yang semak...