. ࣪✯ཻ𖦆🎸᭝ 20

7 3 0
                                    

Neron menghela napas sejenak, baginya kejadian itu seperti kemarin. Tapi, dengan melihat perubahan dari teman-temannya, membuat dirinya yakin bahwa dia sudah jauh tertinggal.

Kakinya masih mati rasa, berbeda dengan tangan yang sudah bebas ia gerakkan. Sejak tadi, dia hanya membaca buku tulis yang ditinggalkan oleh Hima. Perlahan, Neron merasa bahwa dirinya harus menanggung sesuatu lagi.

Pandangannya berganti, menatap pintu kamarnya yang diketuk, menunggu siapa sosok yang akan masuk. Neron tidak bisa menebak, bagaimana orang itu tahu di mana ia berada, ia tidak merasa senang, tapi ia juga tidak merasa benci menatap orang itu.

"Ketos itu suka seenaknya aje, ye. Pantes aje pembina OSIS darah tinggi." Neron mengeluarkan suara.

Kini, Gevan sudah berada di hadapannya, ia tertawa kasar. "Ye, dia mah hobinya emang marah-marah sih."

"Jadi, gimana hari kedua lu, Neron?"

Neron tersenyum, kemudian ekspresi itu berubah dengan cepat, tangannya sudah mengepal. "Pengen mati."

Gevan menarik kursi, dan duduk di sebelah Neron. "Sama gua aje lu kagak jaga sikap. Heran."

"Sebenarnya gua jaga, sih. Tapi, memangnya lu tau mana gua yang asli, mana yang kagak?"

Gevan tertawa keras. "Kelas satu, pas gua bilang pura-pura ke lu, lu langsung dekat ama gua, kan? Naturalnya sih anak-anak lain bakal bilang karena lu supel, padahal sih karena lu bikin biar gua jaga mulut."

Neron mengalihkan pandangannya, ia tidak suka saat pembahasan itu keluar dari mulut Gevan.

"Lu mau marah ke gua, atau lu mau marah ke Orion? Kenapa, sih, kalian malah bikin diri kalian terjebak di waktu yang sama?" Gevan kembali bersuara. Baginya yang menolak bergabung ke dalam band The Raven, ia sudah terlanjur terlibat dalam kehidupan Neron.

"Gua enggak mau marah ke siapa-siapa. Tapi, Van, kenapa gua merasa diri gua berbeda? Memangnya sejak kapan gua mulai egois kayak gini?"

Gevan mengerutkan dahinya, tidak paham dengan apa yang dimaksud oleh Neron. "Lu, tau adek lu join band?"

Neron mengangguk. Tangannya yang mengepal sudah berubah. Ia kini menggenggam kedua tangannya, seperti sedang berharap sesuatu.

"Apa yang mereka bilang ke lu?"

Neron menggeleng. "Mereka kagak bilang apa-apa, tapi adek gua yang langsung bilang. Dia bilang bersyukur karena gua yang minta dia buat gabung ke band, padahal gua ga pernah minta apa-apa. Awalnya gua senang karena yang gantiin gua adalah adek gua sendiri, tapi di saat yang sama gua berpikir 'jangan ambil band yang udah kakak buat' sayangnya hal begituan kagak mungkin keluar dari mulut gua, kan?"

Dugaan Gevan benar. Neron sama sekali tidak senang dengan hal itu. Posisi yang diambil walau yang ambil adalah adik kesayangannya Neron. Bagi Gevan, seandainya ia bisa mendatangi Orion sebelum band The Raven berniat comeback, ia mungkin bisa mencegah hal yang menyakitkan itu.

"Ner, lu mau apa?"

Neron menatap Gevan tanpa maksud, tapi tatapan itu menusuk Gevan.

"Gimana kabar Farah, Van? Masih bareng, kan kalian?" Neron menarik selimut, kembali mengganti topik yang suram itu.

Gevan menghela napas panjang, kemudian membiarkan tubuhnya bersandar pada punggung kursi. Ia mengacak-acak rambutnya, tidak mengerti dengan pola pikir Neron. "Kagak, kita udah putus."

Salah satu alis Neron terangkat. "Cepatnya, kenapa?"

"Cewek yang bahkan ga bisa lepas sama masa lalunya bakal percuma kalau ditimpa ama kenangan baru, Ner. Lagian yang mutusin dia bukan gua. Kalau kata Ipom, dia masih ngerasa bersalah."

Himalaya And The Broken Band [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang