Hima meringkuk di atas sofa, pikirannya dipenuhi bayang-bayang. Saat sibuk memikirkan bagaimana supaya kakaknya cepat sembuh, ia harus menimpanya dengan bagaimana supaya masa lalunya tak terulang. Ia sungguh tak ingin dirundungi lagi. Ia sudah cukup senang bisa satu sekolah dengan kakaknya, jika harus pindah, ia tidak tahu pada siapa akan bergantung.
Waktu sudah menampilkan perbedaan hanya dengan cahaya siang menjelang sore yang sangat sejuk sekali. Hima tidak pergi ke sekolah, ia lebih memilih untuk bolos hari ini. Ia menggerakkan kakinya, membiarkan sel-sel otot beristirahat sejenak. Tidak ada suara selain suara tetesan infus dan napas yang terus berembusan. Lagi-lagi, ia terus menatap kakaknya, berharap bangun di situasi itu.
Langit-langit yang putih itu sungguh tidak cocok untuknya. Biasanya, di mana ada putih, selalu akan ada noda hitam atau pun yang lainnya, darah misalnya.
"Neron, pulang! Sudah berapa kali ibu bilang-"
"Ibu tidak pernah bilang apa-apa! Ibu, di sini ada Hima, seharusnya ibu-"
PLAK!
Neron terdiam. Matanya bergerak, menatap wajah ibunya yang sudah memerah, di belakang sana, teman-teman ibunya sudah saling berbicara satu sama lain. Hanya dengan itu, Neron paham. Tapi, waktu manggung mereka yang sebentar lagi membuatnya tidak ingin pulang.
Neron mundur satu langkah, melewati zebra cross. Tubuhnya pergi dari sana, isi kepalanya kacau. Dia sudah lelah dengan dunia. Hima satu-satunya yang tidak mengerti di sana. Sekaligus penyesalan terbesar untuk semua orang karena tidak pernah menghentikan Neron.
"NERON!" Hanya Arga yang bisa berteriak di saat itu.
Hima tertahan, napasnya sesak mengingat itu. Ia tidak menyangka jika selama ini ibu tirinya termasuk orang yang akan melakukan kekerasan dalam rumah tangga hanya untuk harga diri.
Hima menggerakkan tubuhnya, mengambil jaket, kemudian keluar dari kamar Neron. Rumah sakit masih sama saja sibuknya di saat itu. Para perawat bolak balik keluar dari kamar. Ada beberapa petugas yang menjaga bagian khusus, dan ada juga pengantar makanan yang selalu saja membawakan makanan hambar.
Ia tidak berniat menuju kantin rumah sakit. Mini market terletak di sebrang rumah sakit, tidak ada salahnya untuk menyebrang. Beberapa ambulans datang membawakan pasien, ada juga yang pergi untuk datang ke tempat kejadian perkara kecelakaan.
Udara sejuk kembali menyapu wajahnya. Kasir dari mini market menyambutnya, mengucapkan selamat berbelanja. Padahal dia hanya akan membeli beberapa roti, bukan memborongnya. Ia bergerak lagi menuju daerah minuman, membeli beberapa soda, kemudian pergi ke tempat makanan ringan, lalu membeli beberapa mi instan dalam cup. Setelah pikir sudah cukup membeli persediaan selama beberapa hari, Hima akhirnya menuju meja kasir dan membayarnya.
"Himalaya?"
Hima menoleh ke asal suara yang memanggilnya. Tubuhnya membeku, matanya tidak bisa percaya akan apa yang ia lihat. Keringat dingin sudah mulai mengucuri tubuhnya. Ia ingin segera pergi dari tempat itu.
"Ternyata benar, Himalaya! Astaga lu tiba-tiba pindah dari sekolah. Kita, kan kangen."
Tidak, Hima sama sekali tidak mengerti konteks kata kangen itu. Melukai dirinya itu kangen? Dia benci hari-hari di mana ia harus melewati penyiksaan itu. Tangan kanannya yang memegang kantong plastik sudah dieratkannya, nengepal keras. Kakinya mundur satu langkah, mencari cara untuk keluar dari situasi itu.
Ia tidak bisa. Tangannya keburu ditarik oleh orang-orang itu menuju sisi mini market yang hanya dipenuhi oleh kotak-kotak. Ada empat orang, dan semuanya perempuan. Satunya bertubuh tinggi dengan rambut pendek sebahu. Satu lagi bermata sipit dengan rambut yang sudah diikat. Satu lagi tingginya sama dengan Hima, rambutnya panjang dengan cat berwarna merah muda. Dan yang terakhir hanya gadis dengan rambut pendek setelinga, dengan beberapa tindikan di telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Himalaya And The Broken Band [Tamat]
Teen Fiction[Belum Revisi] Kehidupan itu tidak mudah. Himalaya, gadis muda yang berusaha bangkit atas masalah yang terus menghampiri dirinya. Ia mengemban semua masalah itu sendirian setelah kakaknya mengalami koma. Tapi, semua itu berujung kesedihan yang semak...