. ࣪✯ཻ𖦆🎸᭝2

36 15 5
                                    

Hima terbangun dengan matanya yang terasa sembab. Dia harus membersihkan wajahnya. Kakinya bergerak pelan menuju kamar mandi, membasuh wajahnya dan mengganti baju. Hima, belum niat mandi di pagi buta itu.

Dari sela gorden ia bisa memperhatikan langit yang sudah tak terlalu gelap. Hima sudah menekatkan diri untuk tidak datang ke sekolah. Ia ingin beristirahat lebih tenang. Hima membaringkan tubuhnya di atas sofa sembari bersenandung pelan.

Ingatan kecil kembali berputar di kepalanya. Ia ingat lagu yang dibuat kakaknya atas bantuan darinya. Dia tidak berhenti tersenyum sampai rekaman lagu tersebut. Ia bangga sekaligus senang bisa membantu kakaknya.

Hima bergerak lagi menuju tempat kakaknya dibaringkan. "Kak, Hima pergi sebentar, ya."

Setelah beberapa detik menggenggam tangan kakaknya, Hima keluar dari ruangan kamar yang dingin itu.

Kakinya melesat cepat menuju kantin yang ada di rumah sakit. Ia berniat membeli roti dan susu sebagai sarapannya. Matanya yang sayu itu khilaf, ia membeli banyak roti sehingga ia sendiri yakin tidak mampu menghabiskannya. "Ya sudahlah, untuk makan siang saja."

Hima berjalan pelan, kembali ke kamar kakaknya. Tapi, Hima tak langsung masuk. Ia sadar pintu kamar itu terbuka sedikit. Samar-samar Hima mendengar seseorang berbicara.

"Ner, sesuai kata lu, gua datang lagi setelah lima bulan. Tapi, kenapa lu masih belum bangun? Lu selalu bilang sama anak band, Ner, kalau lu gak datang-datang, buat tetap nungguin lu. Terus ini apa, Ner? Lima bulan dan lu nggak bangun-bangun. Band udah bubar, Ner." Ucapan itu terhenti. Napasnya berat terdengar kasar.

Hima masih menunggu pria yang ada di kamar kakaknya untuk keluar.

"Band yang udah tiga tahun lu kembangin bubar. Apa karena kecelakaan itu, apaitu termasuk salah gua? Gua minta maaf, Ner, jadi tolong lu bangun."

Hima sudah cukup mendengar kalimat itu. ia masuk ke dalam kamar tersebut, membuat pria yang ada di sana memperhatikannya. Wajahnya sendu, kacamatanya sudah beruap, seragamnya tak lagi rapi.

"Maaf, kamu siapa?"

Mereka saling tatap. Hima memiringkan kepalanya, menatap lebih jeli siapa pria itu. dia yakin sudah bertemu dengan pria itu. "Ah, kakak kelas kemarin."

"Ternyata benar, kamu adiknya Neron. Kamu sehat, Hima?"

Ruangan lengang sejenak. Hima merasa sedikit tidak nyaman dengan kehadiran Orion di sana. Orion tak kunjung duduk, ia terus memperhatikan tubuh Neron yang semakin menyusut sejak terakhir kali mereka bertemu.

"Jadi kamu teman satu band kakak? Pantas saja." Hima mengeluarkan suara, membuat Orion memperhatikannya. Hima tidak mengingat anggota personil dari band kakaknya, karena yang ada di pikirannya hanyalah kakaknya.

Orion mengangguk pelan, ia memasukkan tangannya ke dalam saku jaket dan berdiri di samping sofa, tempat di mana Hima duduk. "Apa belum ada perkembangan?"

Hima menggeleng. "Sudah lima bulan, dan belum ada perkembangan. Saya hanya takut, saat kak Neron bangun dia hilang ingatan."

Orion tertawa sarkas. "Saya juga takut. Tapi saya lebih takut jika dia lupa punya tempat untuk pulang."

Hima mendengar itu dengan jelas. Tempat untuk pulang bagi Neron adalah Himalaya. Tapi Hima yang sebelumnya tak memikirkan hal itu, jadi membuatnya kebingungan. Dia mengerti dengan jelas maksud pulang yang disebutkan Orion, hanya saja, dia tidak tahu bagaimana mengungkapkannya.

"Hima, maukah kamu bergabung dengan band kami? Saya ingin membuat lagu untuk Neron." Orion menatapnya serius, dalam pikirannya, dia ingin kembali membuat adik dari sahabatnya itu kembali tersenyum.

Himalaya And The Broken Band [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang