Hari ke-1

1.9K 238 23
                                    

Chan terbangun bukan karena bunyi alarm ponsel yang mengganggu, melainkan suara tangisan yang tidak merdu. Buru-buru, pemuda itu menendang jaket yang ia gunakan sebagai selimut, kemudian berguling dari kasur lantainya menuju sisi yang lain.

Panik sesaat. Namun, kekehan menggantikan semuanya. Kantuk mendadak hilang meski mata Chan baru terpejam dengan nyenyak tiga jam lampau. Penyebabnya adalah tiga buntalan kecil yang menggemaskan.

Ah, mereka tidak bisa disebut buntalan lagi jika mengingat pertumbuhan mereka yang begitu cepat. Chan jadi teringat saat ia menggendong mereka bergantian. Begitu pas di pelukan tangan. Ia jadi rindu masa-masa itu.

Plak!

Kaki kecil menendang pipi Chan, membuat yang tengah melamun itu kembali pada kenyataan. Chan lagi-lagi terkekeh. “Tidur pun bisa nangis? Cengeng banget adek Kakak,” ucapnya.

Kaki kecil itu lalu Chan ambil. Ia tarik sedikit sampai si pemilik kaki merosot. Tangis makin kencang, malah membentuk paduan suara bersama dua lainnya.

Beberapa saat yang cukup lama, tangis mereka mereda, tetapi kekesalannya masih ada. Chan mencubit pipi mereka satu per satu karena merasa gemas. Mereka, tiga balita: Jiji, Lixie, dan Ayen. Begitu cara Chan memanggilnya.

“Nggak suka Kak Chan! Lixie mau nyali kakak balu aja!” seru si tengah sambil menyusut hidungnya yang memerah. Lucu.

“Kak Chan jeleee, weee!” Jiji menambahkan sambil menjulurkan lidah, gemas.

Sementara itu, Ayen si Bungsu, masih sesenggukan. Ia terbangun karena kakinyalah yang Chan tarik tadi. Bocah berusia empat tahun itu terkejut dan makin terkejut saat suara tangisnya membuat Jiji dan Lixie menangis juga.

Chan tidak merasa bersalah sedikit pun. Ia justru terhibur. Paginya selalu indah karena diawali dengan memandang wajah-wajah menggemaskan para adik-nya itu.

“Udah-udah, jangan nangis lagi. Mending, bantu Kakak bikin sarapan.”

Lixie mengangguk paling semangat. Tangannya teracung dengan ujung kaki berjinjit. Jiji dan Ayen pun ikut mengangkat tangan. Bukan bersemangat membantu Chan, melainkan tidak ingin kalah dari si tengah yang bisa berjinjit tinggi.

Rusuh. Tidak ada kata lain yang bisa menggambarkan keadaan di kontrakan kecil itu setiap pagi. Daripada membuat sarapan, keempatnya terlihat seperti mengacaukan dapur. Meski begitu, sarapan telah tersaji di lantai yang sudah mereka bersihkan.

“Nanti siang, Kakak belikan makan, ya.” Chan menerima piring kotor yang diserahkan Ayen secara estafet dari Jiji dan Lixie. Pemuda itu selalu berkata, “Inget, waktu Kakak tinggal, kalian harus?”

Jiji menyahut dari depan, “Nggak boleh belisik!”

Lixie menyambung dengan pipi kemerah-merahan yang cantik, “Nggak boleh bukain pintu ke sembalang olang.”

Chan mengangguk, kemudian mengalihkan tatap pada si bungsu yang tampak akan menangis lagi. Chan menunggu.

“Nggak boyeh nanyis.” Suara kecil akhirnya keluar, membuat Chan tak kuasa untuk memeluk ketiganya langsung.

“Janji, ya. Kalian harus jadi anak baik yang bisa jaga diri kalian sendiri.” Kelingking besar Chan langsung disambut kelingking-kelingking kecil. Tiga jejari mungil itu bertautan pada yang lebih besar dengan pas.

Sekali lagi, Chan mengusak rambut krucilnya itu dengan gemas. Ia sebenarnya tidak tega meninggalkan bocah-bocah itu sendirian di kontrakan. Namun, mau bagaimana lagi? Chan pun memiliki kewajiban yang lain.

“Kakak berangkat sekolah dulu, ya.” Tiga kali, Chan memastikan bahwa pintu benar-benar terkunci. Lima menit menuju pukul tujuh tepat, pemuda itu masih ada di tempat. Doa selamat ia panjatkan sebelum berangkat. Bukan untuknya, melainkan untuk para bocah yang selalu sabar menanti kepulangannya ke kontrakan. Chan berharap, malaikat-malaikat kecil itu selalu terlindungi dan bahagia.

MILD [Banginho/Minchan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang