Minggu ke-2

915 161 99
                                    

Update dobel! Jangan lupa cek Chapter “Minggu ke-3” juga! 🎁

.

.

“Hehehe ....”

Minho memandang aneh Chan yang terkekeh sedari tadi. “Lo mau ikutan ngetawain gue kayak bocil tadi, kan? Gara-gara gue nggak bisa nendang bola?” tebaknya dengan nada tajam.

Chan langsung berhenti tertawa, tetapi senyumnya belum kunjung pudar. Ia yang saat ini tengah duduk di lapangan—dengan Minho tentunya—malah mengubah posisi menjadi menghadap sang kawan, memandangnya dari samping. “Minho,” panggilnya. “Makasih, ya.”

Minho memutar bola mata lalu menjawab, “Lo udah ngomong itu sebanyak delapan kali, Chan.”

Chan terkekeh. “Gue seneng. Gue juga lega soalnya udah cerita sama lo. Lo orang baik, Minho.”

Minho terdiam, cukup lama hingga ia akhirnya membalas tatap mata Chan. “Kalau gue jahatin lo,” ucapnya terjeda, “apa lo masih nganggep gue baik?”

Chan memutuskan kontak mata, mengedarkan pandangan ke penjuru lapangan di samping hutan kota. Ucapnya tanpa ragu, “Nggak ada orang jahat yang mau bantu gue sampai segitunya, Minho.”

“Changbin, Seungmin, Hyunjin, bahkan bunda Seungmin juga bantu lo, Chan. Orang-orang sebelum gue di kehidupan lo dulu juga pasti banyak yang bantu lo.” Minho masih belum mengalihkan pandangan. Ia hanya ingin melihat Chan.

Tatap kembali beradu. Apa Chan bosan? Tentu tidak karena ada dunia baru yang terbentang dalam mata itu. Setiap orang memiliki dunia masing-masing yang berbeda. Chan menyukai cara pandang Minho dalam matanya. “Gue nggak bilang mereka jahat, Minho. Mereka baik, kayak lo.”

“Lo nggak bisa nyamain semua orang, Chan. Gimana kalau lo dibodohi sama orang yang menurut lo itu baik? Gimana kalau gue bohongi lo?” Minho menekuk lutut, memeluk. “Gue bukan malaikat yang hatinya sebersih itu, Chan. Gue bisa aja bantu lo, tapi hati gue malah hujat lo ini-itu, tapi gue nggak ikhlas, dan malah berharap sesuatu.”

Chan tergugu. Ini adalah kali pertama mereka berbicara seintens ini, kecuali tentang susu dan nutrisi anak-anak. Namun, setelahnya Chan memahami bahwa Minho hanya ragu kepada diri sendiri. Ia menganggap dirinya bukan apa-apa karena ia tidak mengetahui keluarbiasaannya di mata orang lain.

“Bukannya perasaan itu wajar?” Chan menepuk kepala Minho saat kawannya itu langsung menoleh padanya. “Lo, kita, cuma manusia biasa yang nggak pernah bisa bersih banget. Tapi, dengan lo yang berusaha berbuat baik, lo termasuk orang baik itu, Minho.”

“Gue nggak ngerti, Chan ....”

Chan terkekeh lagi. Ini seperti jawabannya dahulu ketika sang mama bercerita banyak hal sebelum ia mempunyai adik. Kata papanya, ini adalah fase kehidupan yang bisa saja dilewati banyak orang sebelum dewasa.

“Gue juga nggak begitu ngerti, Minho.” Chan menyamankan duduknya, melanjutkan, “Yang pasti, lo nggak bisa nilai diri lo sendiri karena hasilnya akan beda dari aslinya lo. Lo bisa aja nganggep diri lo sempurna atau lo malah bakal nganggep diri lo nggak berguna.”

Sebuah bola melambung ke arah Chan, membuat lelaki itu menghentikan obrolan. Setelah mengembalikan kepada si pemilik, pun bertukar ucapan terima kasih, Chan kembali duduk di samping Minho yang memandangnya skeptis.

“Begitu juga sama penilaian orang lain. Setiap orang punya penilaian yang beda dari lo dan lo nggak perlu dengerin semuanya, Minho. Cukup ambil yang bisa bikin lo lebih baik.” Chan memandang jauh, pada para penjual yang mencari nafkah sampai petang, pada anak-anak yang tertawa riang, pada lansia yang ingin memperpanjang usia dan melihat cucunya bertumbuh serta berkembang. Semua yang ada di dunia ini begitu beragam.

MILD [Banginho/Minchan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang