“Ino, laki-laki boleh nangis, kok. Nggak ada yang ngelarang.”
Minho baru saja duduk di samping sang ayah. Namun, ia sudah dikejutkan dengan kalimat yang ayahnya itu lontarkan padanya. Buru-buru, Minho mengelap sudut mata karena ia yakin telah menghapus sisa kesedihannya.
Meski begitu, Minho tidak menyangkal bahwa ia memang menangis tadi. Minho tidak mengelak bahwa tenggorokannya sampai terasa kering karena teriakan tadi. Pun, ia tidak membela diri karena Minhyuk pasti mendengar tangisannya, bahkan bagian Minho memaki.
“Ayah, Ino boleh minta ujung earphone kabelnya?” Jadi, daripada merajuk, Minho memilih membuka tangan, mengirim pinta bahwa ia ingin mendengarkan musik, serta menghabiskan waktu bersama ayahnya.
Dan, Minhyuk mengerti bahwa ia tidak boleh memaksa sang anak untuk berbicara. Minhyuk yakin bahwa Minho bisa menyelesaikan masalahnya. “Mana kupingnya.” Maka, yang bisa ia lakukan kini adalah memasangkan salah satu ujung penyuara telinga kepada sang anak, kemudian mereka akan mendengarkan apa pun yang terputar di radio itu bersama.
“Kalau masih pengen nangis, nangis aja daripada nyesek di dada, Ino.”
Minhyuk melarikan jemarinya ke rambut Minho. Ia sisir helaian yang sempat berantakan oleh angin nakal. Pria itu lantas menuntun kepala sang putra agar bersandar ke bahunya. Tidak mengapa sesekali memanjakannya, begitu pikir Minhyuk sambil tidak berhenti mengelus kepala Minho.
Namun, bukan tangis kencang yang Minhyuk dengarkan setelahnya, melainkan seuntai kalimat mencengangkan dari sang putra.
“Tadi udah, kok, Yah. Sekarang udah lega dan Ino nggak mau terus nangisin yang udah kelewat.” Minho nyamankan dirinya. Sembari memejam, ia bisikkan sesuatu yang membuat Minhyuk lebih terkejut. “Bukannya semua hal emang punya ujung dan akhir? Daripada nyesel, lebih baik Ino jalani yang ada ini dengan baik, kan, Yah?”
Ah, Minhonya ternyata sudah dewasa. Minhyuk pasang seutas senyum sambil kini tangannya berada di punggung sang anak. Namun, masih ada pertanyaan yang bersarang di kepala pria itu kepada Minhonya. “Emang kamu udah rela mutusin semua hubunganmu sama Chan? Sebelum pacaran, kalian temen baik, loh.”
Minhyuk tidak tahu bahwa sang putra langsung merapatkan bibir begitu pertanyaan tersebut terlontar. Tidak bohong bahwa Minho sedih, kesal, dan kecewa karena keputusan Chan yang seharusnya masih bisa dibicarakan lagi. Tidak bohong bahwa Minho ingin memukul Chan saat mereka bertemu nanti.
“Ah, tapi ini emang risikonya sesama temen pacaran. Kalau putus, kamu bisa kehilangan langsung dua, pacar sekaligus temen.” Sebelum pertanyaannya terjawab, Minhyuk telah menanggapinya dahulu. Dalam batin, ia mengutuk diri sendiri karena mempertanyakan itu. Harusnya ia diam dan menjadi pendengar yang baik saja.
Namun, pertanyaan itu agaknya tidak terlalu menyinggung bagi Minho yang sekarang sudah bisa menjawab dengan tenang. “Ino kehilangan empat, kok, Yah. Soalnya bagi Ino, Chan itu pacar, sahabat, saudara, sekaligus keluarga.” Minho angkat kepalanya. Ia pandang lurus jalan satu arah di depan.
Kini, Minhyuklah yang menutup mulut dengan rapat. Hati kecilnya berkata bahwa ia ikut berperan dalam kesedihan sang anak. Seandainya saat itu ia lebih tegas mengingatkan Minho maupun Chan—
“Tapi, Yah, tetep aja yang udah terjadi nggak bisa diulangi lagi.” Minho memutus lamunan Minhyuk dengan ucapannya, yang lagi-lagi membuat ayahnya itu kaget. “Tadi, Ino sempet mikir buat balik jadi anak kecil yang sedihnya cuma gegara banyak PR, tapi sekarang lucu banget kalau dipikir bakal ada kesempatan kedua buat ngulang masa lalu. Nggak bakal ada masa depan, dong. Ino juga bakal stuck dan nggak bisa berpikiran dewasa.”
Minho menarik kedua sudut bibir, senyumnya sampai ke mata ketika berkata, “Kalau disuruh milih, Ino bakal milih berada di waktu ini, dan berusaha ngejalani tiap harinya dengan sempurna.”
![](https://img.wattpad.com/cover/270954166-288-k193711.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MILD [Banginho/Minchan]
FanfictionChan tidak pernah berpikir bahwa ia akan menyukai teman sebangkunya. Pun, tidak pernah menyangka bahwa sering menghabiskan waktu bersama di kontrakan kecil dapat menumbuhkan rasa cinta. Tidak pernah. Tidak sama sekali. Apa lagi, dengan adanya tiga b...