“KAK CHAN!”
Tubuh-tubuh mungil menabrak kaki Minho begitu pintu terbuka. Dua kepala segera menggesek-gesek perut Minho sampai si empunya kegelian. Satu lagi melompat ke pelukan Minho, beruntung ia tanggap menangkapnya.
Minho terkejut. Spontan, ia menoleh pada teman sebangkunya yang berubah pucat. Chan sedang panik sekarang. “Minho, gue bisa jelasin ....” Begitu ucapnya.
“Chan, lo nggak nyulik anak orang, kan?” Mata Minho masih terbelalak.
Chan lekas menggeleng ribut. Ia hendak mendorong Minho agar masuk ke kontrakan terlebih dahulu, kemudian menjelaskan semuanya di dalam. Namun, sebelum itu terjadi, suatu keributan sudah mendahului.
Bocah dalam pelukan Minho mendongak dengan senyuman lebar hingga matanya menyipit. Ia belum mengetahui siapa yang ia peluk kini. Suara ceria memanggil nama Chan masih membahana, sebelum mata itu membuka dan menyadari kesalahannya.
Bukan Kak Channya yang ia peluk, melainkan seseorang yang tidak ia –Ayen, panggilan bocah itu– kenal.
“Ddaa!” sapa Minho dengan ekspresi yang menurut Ayen menakutkan. Segera saja, bocah itu menangis meraung-raung. Anehnya, bukannya meminta turun, Ayen malah memeluk Minho makin erat. Kedua tangannya mengalung di leher yang lebih tua, susah dilepaskan.
Sementara itu, Jiji dan Lixie yang sudah melepas pelukan segera berlari ke arah Chan. Keduanya bersembunyi di balik punggung sang kakak yang sedang kelimpungan melepaskan Ayen dari pelukan Minho.
Ribut sekali.
***
“Dek, lepas dulu pelukannya, kasihan Kak Minho. Sini, Kak Chan pangku.” Tidak henti-hentinya, Chan membujuk Ayen agar berhenti menyembunyikan wajah di dada Minho. Namun, semua usahanya berujung gagal.
Minho tersenyum kalem, tumben dalam pandangan Chan. Pemuda itu menepuk-nepuk punggung Ayen dengan lembut. Ucapnya, “Udah, nggak apa-apa, Chan. Anaknya juga anteng, kok.”
Chan membatu sejenak. Batinnya sempat berdebat mempertanyakan, apa benar ini Minho yang sering memasang wajah jutek kepadanya setiap ia lupa mengerjakan pekerjaan rumah? Chan ingin membenturkan dahi ke tembok. Maka, ia melakukannya saat itu juga.
“Chan, lo sehat?” tanya Minho seketika. Ayen masih betah dalam pelukan Minho, mungkin sudah tertidur saking antengnya bocah itu. Di samping Chan, Jiji dan Lixie melongo, bergantian menatap Kak Chan mereka yang mendadak bertingkah aneh dan Minho yang asing dalam pandangan mereka.
“Nggak apa-apa, Min. Aku ambilin air putih, ya.” Chan buru-buru bangkit dan berlalu menuju dapur, meninggalkan Minho yang kebingungan.
“Aku?” batin Minho.
Tidak lama kemudian, Chan kembali dengan air putih di tangan kanannya. Pemuda itu membungkuk di samping Minho, berbisik, “Panggil aku-kamu kalau di deket anak-anak, ya. Gue takut mereka tercemar bahasa gaul sebelum waktunya.”
Minho mengangguk, mengerti. “Oh, oke. Nggak mesti ada hubungan romantis buat saling panggil aku-kamu, kan? Gu–aku nggak masalah,” ucapnya.
Chan tersenyum sampai lesung pipinya tampak jelas. “Makasih, ya, Min. Aku takut kamunya nggak nyaman.”
Minho sekali lagi mengangguk, kemudian mengeluarkan buku dari dalam tasnya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya masih mengelus punggung si kecil Ayen. “Yuk, kerjain,” katanya pada Chan.

KAMU SEDANG MEMBACA
MILD [Banginho/Minchan]
FanfictionChan tidak pernah berpikir bahwa ia akan menyukai teman sebangkunya. Pun, tidak pernah menyangka bahwa sering menghabiskan waktu bersama di kontrakan kecil dapat menumbuhkan rasa cinta. Tidak pernah. Tidak sama sekali. Apa lagi, dengan adanya tiga b...