Hari ke-2

1.1K 208 84
                                    

Ddaa!”

“Minho ....”

***

“Hahaha, Kak Inyo, ... geli, hahaha!”

Tawa kencang membahana di kontrakan kecil itu. Tiga anak kecil bau iler mengangkat kaki-kaki mereka, menendang udara, saat Minho menggesek-gesekkan hidung bangirnya ke perut mereka.

“Adek siapa, sih, ini? Gemes banget sampai Kak Ino geregetan pengen makan kalian!” Minho, pagi ini kembali datang ke kontrakan Chan. Pagi sekali saat cahaya mentari baru saja menyala. Habis jogging dari lapangan dekat SD 2 Hujan, katanya.

Empat stirofoam berisi bubur ayam menggantung di tangan kanannya begitu Chan membuka pintu kontrakan, lengkap dengan sapaan selamat pagi yang kelewat khas dari seorang Minho. Pantas, Chan terkejut dan langsung menepuk dahinya.

“Min, kamu mau sarapan sekarang?” tanya Chan dari dapur sambil membongkar isi plastik yang Minho bawa tadi. Ini belum jam bangunnya, tetapi tidak mungkin ia melanjutkan tidur saat ada tamu, kan?

Minho –yang masih bermain bersama Jiji, Lixie, dan Ayen– setengah berteriak agar Chan mendengarnya di antara gelak tawa para bocil ini. “Aku udah makan di sana, Chan! Itu buat kamu sama adek-adekmu!”

Kepala Chan muncul dari balik tembok dapur. “Beneran? Ya, udah. Aku mandi dulu kalau begitu. Ini belum jam sarapan sama anak-anak soalnya.”

Minho menyahut, “Oke, nanti aku juga numpang mandi, ya, Chan!”

Terdengar samar-samar suara Chan yang mengiakan permintaan Minho berbaur dengan bunyi air mengalir yang mendominasi. Minho pun bangkit dari duduknya, meninggalkan kecup kering di pipi ketiga adik Chan. Ia lalu berjalan menuju dapur, membuka bufet tanpa izin pemiliknya untuk mencari sesuatu.

“Chan, lo punya beras, nggak?” tanya Minho sambil mengetuk pintu kamar mandi.

Terdengar bunyi keran diputar hingga yang tersisa hanya keheningan. Chan menjawab, “Di bawah meja yang ada galonnya coba. Masih bisa buat sehari itu.” Setelah itu, guyuran air kembali memenuhi gendang telinga. Minho abai karena ia segera menuju tempat yang diberi tahu Chan tadi.

Tidak lama kemudian, Chan keluar dari kamar mandi dengan kaus putih dan bokser hitam. Ia tidak terlihat habis keramas, tetapi air menetes dari ujung rambutnya yang pirang dan agak bergelombang. Sebelum Chan bertanya tentang apa yang dilakukan Minho di dapurnya, Minho sudah bertanya terlebih dahulu.

“Lo nggak handukan dulu tadi?”

Chan memasang wajah bodoh. “Ha? Emang perlu?”

Minho menipiskan bibir hingga segaris, kemudian menjawab dengan nada terlewat datar yang khas, “Ya, nggak juga, tapi airnya netes di lantai.”

“Biarin aja, nanti juga kering.” Chan lalu menghampiri Minho, berdiri di sampingnya. “Ngapain masak nasi?” tanya Chan yang sempat tertunda tadi.

Minho mengelap dasar tempat beras dengan serbet yang ia temukan di dekat kompor. “Buat anak-anaklah. Kan, nanti lo tinggal sekolah,” katanya, “Udah bisa ngambil sendiri, kan? Ah, nanti gue siapin dulu di piring ajalah, gampang.”

“Gue biasa pulang waktu istirahat kedua buat ngurus mereka, kok.” Chan mengikuti Minho yang masih bersikeras memasak nasi dengan beras yang telah ia cuci ini.

MILD [Banginho/Minchan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang