“Beneran, Kak Abin? Kali ini, kita beneran ke alun-alun?” Jisung berdiri di belakang jok sopir yang ditempati Changbin, sedikit merunduk sebelum melompat untuk menempati jok samping kemudi tersebut.
“Iya, beneran.” Changbin masih memeriksa beberapa hal sebelum menoleh pada Jisung, yang kepalanya barusan terantuk. “Ada pintu samping, ngapain lewat belakang? Jadi kejedot, kan?” katanya dengan ketus sambil mengelus si sulung itu.
Jisung mengaduh pelan. Tangannya ikut mengelus kepala yang terasa berdenyut, lebih tepatnya ia menggosokkan tangan Changbin yang berada di sana. “Habisnya, Jiji semangat banget hari ini. Jiji bisa latihan pakai sepeda yang gede!” Bocah itu menjatuhkan diri ke jok depan, sedikit memantul. “Kak Umin sama Kak Njin hari ini bisa ikut, kan?”
“Hooh, mereka udah bilang bisa ikut.” Ucapan Changbin ini membuat Jisung bersorak. Namun, ia kembali mengisi pipinya dengan udara lantaran ledekan Changbin. “Emang yang sepeda kecil udah bisa beneran? Nanti jatuh, kamu nangis lagi.”
“Udah bisa, dong, Kak Mbin! Jiji latihan terus sama Kak Ino selama sebulan ini!” Jisung mengangkat kesepuluh jarinya, kesal. Beberapa saat kemudian, ia bingung sendiri sehingga ia harus menoleh ke belakang. “Kak Ino, sebulan itu begini, kan, tangannya?” tanya bocah itu sambil menunjukkan kedua tangannya yang terbuka.
Minho dan Chan yang masih mengurus tempat duduk Felix dan Jeongin—kedua anak itu harus suit untuk menentukan siapa yang duduk samping Jisung di depan—pun menimpali dengan mengangkat kedua tangan. “Tambah ini,” ucap Minho sambil menyenggol Chan yang langsung tanggap dengan kedua tangannya pula, “terus tambah itu.”
“Sebulan itu tiga puluh hari, ya, Kak?” Jisung mengangguk, kali ini mengerti. Meski begitu, matanya masih serius menatap semua jemari yang ada.
“Nggak mesti, sih. Ada yang 31 hari, ada yang 28 atau 29 hari juga.” Changbin dengan jiwa pengajarnya muncul begitu saja. Ia bersedekap, menjawab sambil memejamkan mata dan menganggukkan kepala.
Jisung langsung menjerit, “Nggak ngerti! Jiji nggak ngerti Kak Mbin ngomong apaan!” Ia menutup kedua telinganya, berharap suara Changbin mode guru tidak terdengar, setidaknya untuk sekarang saat mereka akan pergi jalan-jalan.
Jeongin yang kalah suit dengan Felix pun masih menatap tangannya yang mengepal, membentuk batu. Pikirnya bingung, kenapa kertas yang ringan bisa mengalahkan batu berat. Namun, hal itu hanya terlewat di kepala karena bukan itu yang Jeongin tanyakan sekarang. “Kalau selamanya, sebanyak apa, Kak Inyo?”
Si bungsu itu bertanya pada Minho, tetapi yang menjawab adalah semua orang dalam mobil tersebut. Mereka kompak merentangkan tangan, bersenggolan satu sama lain. Memang, pertanyaan ini bukan sekali atau dua kali diutarakan Jeongin, lebih malah. Namun, tidak ada seorang pun yang keberatan menjawabnya lagi.
“Nggak bisa dihitung, nggak terhingga, dan nggak akan berakhir.”
Saat Minho selesai mengucapkan kalimat itu, Jeongin langsung memeluknya erat. Minho sempat terkejut, tetapi ia langsung tanggap dengan menutup bentangan tangannya, membalas pelukan tersebut. “Oh, minta peluk? Bilang, dong,” goda Minho sambil menggoyang-goyangkan tubuh Jeongin, “tadi yang marah sama Kak Ino siapa, ya? Nggak suka disuluh-suluh belajal telus, katanya. Sekarang udah nggak marah lagi?”
Gelengan ribut dari Jeongin dapat Minho rasakan. Bocah berumur empat tahun itu mendongak, mengintip Minho dari balik poni rambutnya yang sudah panjang. “Ayen udah nggak malah lagi, kok, sama Kak Inyo. Kalau Ayen masih malah, nanti ditinggal sama Kak Inyo.”
Bibir Jeongin langsung mengerucut. Ia menghindari tatap mata Minho sebentar, sebelum berfokus ke sana sepenuhnya saat berkata, “Ayen bakal belajal lagi, tapi bukan hali ini. Kak Inyo nggak malahin Ayen, kan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
MILD [Banginho/Minchan]
FanfictionChan tidak pernah berpikir bahwa ia akan menyukai teman sebangkunya. Pun, tidak pernah menyangka bahwa sering menghabiskan waktu bersama di kontrakan kecil dapat menumbuhkan rasa cinta. Tidak pernah. Tidak sama sekali. Apa lagi, dengan adanya tiga b...