"Chan, gimana kalau kita ngubah takdir kita ...."
Langkah kaki melambat, berhenti di depan sebuah tempat. Gerbang kos-kosan Minho tampak di depannya. Lampu depan yang telah dimatikan membuat malam makin kelam. Chan buka gemboknya dengan sandi angka yang telah diberikan. Tidak satu pun kata keluar untuk menanggapi Minho yang kembali terdiam.
"Chan ...." Minho setengah sadar mengalungkan lengan makin erat ke leher Chan. Ia tidak mau lepas, tidak mau terpisah, tidak ingin Chan pergi lagi darinya. Jauh di lubuk hati Minho berkata demikian.
"Minho," ucap Chan terputus, ekspresinya tidak terbaca ketika melanjutkan dengan nada jenaka yang dipaksakan, "lo ternyata nonton The Greatest Showman juga, ya? Gue kira lo nggak tertarik pas anak kelas nobar."
Tawa Chan tidak terdengar tulus, tidak menghangatkan hati Minho seperti biasa.
"Kamar lo yang di ujung, kan, Min? Ini gue ikut masuk, nggak apa-apa?" Chan melepas sepatunya dengan hati-hati. Ini belum terlalu malam dan mungkin masih ada penghuni indekos yang masih melayap. Namun, Chan tidak ingin membuat keributan, apalagi dengan keadaan Minho yang demikian.
Minho telah turun dari gendongan. Dengan langkah sempoyongan sambil dipapah Chan, Minho tidak lagi berkata-kata. Pun, Chan, yang hanya mengantar untuk memastikan bahwa Minho sampai ke tempat tidurnya dengan aman.
"Minho, minum air putih dulu. Dibuat tidur aja, besok nggak usah kerja kalau masih pusing." Chan telah berbalik, bersiap melangkah ke pintu untuk pergi, meninggalkan Minho yang telah duduk di ranjangnya.
Namun, sisi terdalam Minho merajuk, tidak ingin Chan pergi untuk kedua kali atau bahkan lebih. Ia refleks menahan Chan, memegang lengannya, lalu memeluknya dari belakang. "Chan, lo nggak boleh pergi. Temeni gue di sini ...."
Chan termangu ketika Minho membalikkan tubuhnya agar mereka berhadapan. Chan masih terdiam saat tangan Minho mengelus tubuhnya, hanya demi berkata, "Baju gue ngepas banget dipakai lo." Dan, Chan belum berkutik ketika tangan Minho menyusup dalam baju, kemudian meraba perutnya. "Apa masih sakit, bekas tonjokan gue?"
"Minho ...."
Chan baru menghentikan Minho, menahan tangannya yang meraba makin ke atas. Chan baru menghentikan Minho, ketika jarak mereka makin terpangkas, dan bisikan Minho terdengar jelas di telinganya.
"Gue kangen ciuman sama lo, Chan ...."
"Minho, lo bakal nyesel kalau udah sadar nanti."
Sayang, Minho mengabaikannya. Ia tidak mendengarkan, ia tidak peduli Chan menahannya yang makin mendekat, Minho tidak mengindahkan semua yang akan terjadi saat ini. Minho hanya sedang mengungkapkan kerinduan, yang terhalang ego, yang tidak tampak ketika ia sadar dan melihat Chan tepat di depannya.
Rasa rindu yang bahkan Minho tidak mengakui keberadaannya.
"Minho ...."
Chan tidak kuasa ketika Minho telah memiringkan kepala, mencegah hidung mereka bertubrukan, demi sebuah sentuhan di bibir yang telah lama dirasa. Chan tidak lagi menahannya, saat Minho mendorongnya sampai pintu, saat Minho mengalungkan lengan ke lehernya, saat Minho melumat bibirnya dengan sungguh.
Ciuman itu, lebih intens daripada yang mereka biasa lakukan, lebih dalam karena ada perasaan yang terlibat, dan lebih memuakkan karena Chan menjadi tidak berdaya. Chan ikut mengalir bersama Minho, ikut membagikan rasa sakit beserta rindunya. Chan balas Minho dengan ciuman yang sama dalamnya.
"Lo juga kangen ciuman sama gue, kan?" Minho tertawa sarkastis. Tidak dapat dimungkiri, Chan juga merindukan itu. Tawa Minho selalu berhasil menggelitik dirinya untuk ikut menyunggingkan senyuman.

KAMU SEDANG MEMBACA
MILD [Banginho/Minchan]
FanfictionChan tidak pernah berpikir bahwa ia akan menyukai teman sebangkunya. Pun, tidak pernah menyangka bahwa sering menghabiskan waktu bersama di kontrakan kecil dapat menumbuhkan rasa cinta. Tidak pernah. Tidak sama sekali. Apa lagi, dengan adanya tiga b...