Ketika membuka mata setelah tertidur semalam, Minho mengetahui ada yang berbeda. Ruangan lebih lengang, tidak ada kaki dan tangan-tangan kecil yang menimpa tubuhnya, serta perasaan kesepian yang biasanya jarang mengunjungi dirinya.
Hanya satu yang tidak berubah, yaitu Chan. Dengan tangan yang tidak mau melepaskan Minho, dengan posisi yang tidur di sebelah Minho, juga dengan rasa yang sama. Satu-satunya yang membuat Minho mengetahui bahwa ia tidak berada di ruangan sendirian.
Minho abaikan bajunya yang hilang entah ke mana. Ia tertawa ketika mengingat alasannya bertelanjang dada. Basah. Kaus Minho basah oleh keringat selama ia habiskan waktu untuk menangis dalam pelukan Chan. Lucunya, kaus itu juga berbau minyak angin Chan.
Satu-satunya yang Minho syukuri karena ia akhirnya bisa tertawa juga, menyambut Senin pagi meski anak-anak tidak lagi berada di dekatnya.
Minho menghela napas pendek, berusaha merelakan meski susah untuk mengisi kekosongan di hatinya kini. Ia lihat Chan, yang mungkin lebih parah darinya meski Chan tampak ikhlas dari luar. Chan kuat karena ia tidak diberi pilihan untuk menolak.
Minho sibak rambut yang menutupi dahi Chan. Ia usap kelopak mata yang menutupi iris sang pacar. Ia elus pipi yang terkadang bisa sangat menggemaskan. Minho cubit pelan, sambil ucapkan kalimat dengan suara berbisik, “Gue masih nggak bisa ngerti jalan pikir lo, Chan ....”
Minho biarkan jemarinya berjalan, sentuh bibir tebal yang biasa tersenyum lebar, bawa kebahagiaan untuk semua orang. Namun, kemarin mulut itu beri penjelasan yang membuat Minho tidak paham, benar-benar tidak mengerti dengan Chan.
“Lo ngelepas adek-adek lo karena lo sesayang itu sama mereka.”
Minho menelan ludah untuk basahi kerongkongan. Ia mendadak tidak suka ketika teringat kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut Chan.
“Mereka bakal dapet kehidupan yang lebih baik, jauh lebih baik daripada waktu mereka bareng-bareng sama kita.”
Telunjuk Minho kembali lewati rahang Chan, mengusap lembut di sana, ganggu ia yang mungkin baru bisa tidur beberapa jam. Minho lanjutkan dengan bisikan yang sama di samping telinga Chan, “Lo seolah bilang kalau lo nggak bisa bikin mereka bahagia. Lo seolah bilang kalau enam bulan ini, anak-anak tersiksa sama kita ....”
Chan menggeliat, agak terganggu tidurnya. Ia balikkan badan dengan erangan menyertai. Tautan tangannya dengan Minho pun terlepas. Namun, Minho belum mau pergi. Ia masih di sana, temani Chan tanpa dimintai.
“Gue tau kalau kita semua ini cuma anak SMA yang ngurus diri sendiri juga belum bisa sempurna. Lo juga sama, Chan. Tapi, dengan semua kekurangan itu, lo tetep kakak terbaik buat anak-anak. Gue yakin mereka nggak bakal nyesel pernah dijaga sama lo.”
Minho sisir rambut Chan dengan jemarinya. Ia rapikan rambut bekas tidur Chan meski terasa percuma. Dengan sebelah tangan yang bebas, Minho juga usap punggung Chan, nyamankan Chan dalam tidurnya.
Gumaman Minho belum terputus. Masih banyak cerita yang ingin ia ungkapkan. Masih banyak pujian yang ingin ia sampaikan agar Chan mengetahui bahwa dirinya luar biasa. Chan luar biasa dalam setiap prosesnya.
“Sikap lo ini bikin gue jadi mikir, lo tau atau nggak, Chan?” Minho tertawa rendah. Usapannya di punggung Chan terhenti sejenak ketika Minho berucap, “Gue jadi mikir kalau suatu saat lo bisa aja mutusin gue dengan alasan lo sayang sama gue. Tapi, itu nggak akan mungkin, kan?”
Dering ponsel sebagai alarm menyadarkan Minho bahwa pagi telah datang. Senin menyambutnya dengan jadwal. Meski tidak ada lagi pelajaran, Minho masih berkewajiban datang ke sekolah. Maka, setelah Minho membubuhkan kecupan di pelipis Chan, ia beranjak untuk bersiap-siap. Minho biarkan Chan tertidur lebih lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
MILD [Banginho/Minchan]
FanfictionChan tidak pernah berpikir bahwa ia akan menyukai teman sebangkunya. Pun, tidak pernah menyangka bahwa sering menghabiskan waktu bersama di kontrakan kecil dapat menumbuhkan rasa cinta. Tidak pernah. Tidak sama sekali. Apa lagi, dengan adanya tiga b...