Minho mempercepat laju motornya. Pikiran lelaki itu telah berada di kontrakan. Khawatir, resah, mendadak penuhi otaknya, alihkan ia dari segala urusan yang ada. Minho merasakan firasat tidak nyaman, terbukti dari jantungnya yang berdebar kencang.
Begitu masuk ke gang, Minho baru menurunkan kecepatan, berhati-hati dengan anak-anak yang berlalu-lalang. Ah, anak-anak, Minho langsung kepikiran dan harapannya segera melayang. Kapan kiranya mereka bisa bermain di luar kontrakan dengan nyaman, tanpa takut atau peduli apa pun yang akan menanti ke depannya.
Minho lantas menggeleng. Bukan waktu yang tepat untuk berangan-angan karena ada seorang anak yang membutuhkan obatnya segera datang. Maka, Minho kembali berfokus ke jalan yang tinggal beberapa belokan.
Betapa terkejutnya Minho begitu ia sampai ke depan kontrakan dengan pintu yang terbuka, dengan dua pasang sepatu berjejer rapi di ambang pintunya. Siapa mereka? Minho mengira tidak mungkin sang ayah karena beliau telah Minho larang untuk datang.
Siapa? Apa mungkin itu memang ayahnya yang tidak kuasa menahan rindu kepada anak-anak? Minho lebih berharap iya meskipun itu berarti sang ayah telah mengingkari janjinya.
“Akh, kamu pasti Kak Ino yang dari tadi diceritain anak-anak. Temen Chan, kan?”
Sayangnya, tamu itu bukan Lee Minhyuk.
Suara itu jelas-jelas berasal dari seorang perempuan, bersama satu lagi teman perempuannya yang tampak lebih dewasa. Mereka saat ini tengah duduk lesehan dengan anggun di samping Chan dan anak-anak. Namun, Minho sama sekali tidak mengenali mereka. Bahkan, ketika perempuan itu tersenyum penuh keakraban.
Perempuan itu berdiri, penuh tata krama ketika ia berjalan mendekati Minho, kemudian menggandengnya masuk ke ruangan. “Perkenalkan,” ucapnya lembut seperti permen kapas, manis, “Saya Sana, salah satu pengasuh di Panti Asuhan ‘Sunshine’, sekaligus pemilik kontrakan ini kalau Chan udah cerita sama kamu.”
Manis, tetapi memberikan efek pahit begitu selesai didengarkan. Mungkin hanya Minho yang merasakan. Namun, benar adanya. Ia serasa disambar petir, padahal langit sedang terang. Jadi, ini adalah hasil dari keresahan Minho tadi di sepanjang jalan.
“Beliau yang duduk di sana adalah Buna Suzy, kepala panti asuhan yang sekarang.” Sana menunjuk dengan hormat pada perempuan satunya, mempersilakan perempuan yang jauh lebih dewasa darinya itu untuk menyapa Minho dengan senyum simpul nan menawan.
“Kamu bisa manggil saya Mbak atau Buna seperti yang lainnya.” Suzy langsung berdiri ketika Minho telah berada tepat di depannya. Ia menawarkan uluran tangan yang hangat, yang disambut Minho dengan perasaan tidak enak.
“Jadi, maksud kedatangan kalian ke sini adalah–” Minho terbata-bata. Ia terduduk begitu saja di samping Chan dan tidak sanggup melanjutkan perkataannya.
Suzy mengerti hal tersebut. Maka, ia membantu Minho dengan menjelaskan inti sari kedatangan mereka yang tidak mendadak ini. “Kami datang untuk menjemput Jisung, Felix, dan Jeongin.”
Minho tidak tahu harus bereaksi apa. Sesungguhnya, ia sudah menduga hal ini begitu mereka memperkenalkan diri berasal dari panti asuhan. Kaki Minho serasa lemas tak berdaya. Ia pusing dengan segalanya yang ada, takut yang paling mendominasinya.
Minho takut kehilangan anak-anak yang telah menemaninya setengah tahun ini. Minho takut membayangkan hari-harinya tanpa anak-anak tersebut. Minho takut, kalut, suara di pikirannya riuh hingga ia tidak menyadari bibirnya bergetar ketika ungkapkan tanya, “Kenapa?”
KAMU SEDANG MEMBACA
MILD [Banginho/Minchan]
FanfictionChan tidak pernah berpikir bahwa ia akan menyukai teman sebangkunya. Pun, tidak pernah menyangka bahwa sering menghabiskan waktu bersama di kontrakan kecil dapat menumbuhkan rasa cinta. Tidak pernah. Tidak sama sekali. Apa lagi, dengan adanya tiga b...